Banner

Breaking News

Sudahkah Kita Merdeka Seratus Persen?


Ilustrasi. Sumber gambar: stoparp.org

Oleh: Aru Elgete

"Apa yang dimaksudkan dengan merdeka 100%? Buat saya merdeka itu merdeka tak ada batasnya," kata si Toge dalam percakapannya dalam buku Merdeka 100% karya Tan Malaka.

Berbicara soal konsep merdeka, saya rasa tak cukup satu malam untuk menjadikannya bahan bahasan. Namun, betul kata si Toge pada permulaan dialognya dengan Godam dan Pacul. Toge bilang bahwa merdeka itu tanpa batas.

Ketiga tokoh yang sangat imajinatif itu membahas tentang kemerdekaan yang hakiki. Mereka berbicara soal arti kebebasan dan pembebasan dari ketertindasan yang ketika itu tengah melanda negeri.

Permainan setting dan suasana yang dilakukan Tan Malaka memang sangat ciamik. Ia menulis berdasar pada keresahan yang dialami.

Bapak Bangsa dari tanah Minang itu, selalu dikenang sepanjang masa. Ia pencetus kata "Merdeka 100%" yang multitafsir, yang tidak absolut, dan bersifat relatif. Setiap individu bebas memberi makna pada kemerdekaan.

Sebab Tan Malaka, di dalam bukunya itu, hanya memperjelas fungsi kemerdekaan yang sempurna pada konteks kebangsaan dan kenegaraan. Sementara, merdeka 100% tidak bermakna tunggal.

Merdeka adalah sesuatu dimana individu merasa sudah terlepas dari jerat keterikatan. Ia menjadi bebas, tak lagi tersandera oleh kekuasaan jahat yang membelenggu. Kemerdekaan hanya bisa diraih melalui perjuangan dan proses ketertindasan yang dirasakan setiap insan.

Namun, apakah merdeka 100% dapat benar-benar kita rasakan? Nah, sebelum membahas arti kemerdekaan bagi negara-bangsa, mari kita lihat ke dalam, benarkah diri kita sudah merdeka? Sudahkah kita berdaulat? Berapa kadar kemerdekaan yang ada pada diri?

Menurut hemat saya, merdeka berarti tidak melakukan upaya penggiringan pemikiran kepada orang lain. Karena bagi siapa pun yang ingin merdeka, ia harus mampu memerdekakan lingkungan sekitar terlebih dahulu. Merdeka 100% bisa diartikan bahwa tidak ada lagi keterikatan dan pembelengguan pemikiran dari orang lain.

Kita bebas berpikir tanpa merasa takut salah. Karena tujuan kemerdekaan berpikir adalah untuk meminimalisasi kekufuran intelektual dan kesesatan pengetahuan.


Baca juga: Kufur Intelektual

Artinya, tidak ada yang melakukan (subjek) indoktrinasi kepada yang dilakukan (objek). Sementara indoktrinasi bermakna tendensi pada pemikiran sendiri maupun kelompok, dan tidak siap untuk menerima hasil pemikiran atau kebenaran dari orang atau kelompok lain.

Sementara merdeka berarti terbebas dari upaya indoktrinasi yang berlebihan. Bebas menentukan pilihan hidup. Tidak menjadi bebek yang mudah digiring, atau seperti sapi yang dicocok hidungnya. Sehingga harus menuruti segala macam perintah yang dilakukan seorang majikan, atasan, dan senior.

Saya beranggapan bahwa perilaku indoktrinasi adalah mereka yang takut merdeka. Mereka yang tetap ingin menjajah dan dijajah, bahkan seperti melestarikan feodalisme (dengan kemasan yang baru). Mereka yang merasa paling benar dan menganggap yang lain salah serta menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman yang menakutkan.

Mereka pula yang melihat orang lain tidak memiliki wawasan pengetahuan yang memadai; secara kualitas dianggap lebih rendah dari mereka. Padahal, esensi merdeka bukan itu.

Tugas kita sekarang adalah memerdekakan orang-orang yang menjajah dan dijajah. Memerdekakan mereka dari feodalisme gaya baru. Serta memerdekakan mereka yang merasa superior.

Maka, jangan mengancam perbedaan atau merasa terancam karena berbeda. Merdekalah dengan sempurna.

Indoktrinasi yang dilakukan secara berlebihan akan menjadikan seseorang, baik si objek maupun subjek, seperti memakai kacamata kuda. Ia akan berjalan lurus. Tidak perduli pada kemungkinan sebuah kebenaran yang ada di sekitar.

Sesungguhnya hal tersebut adalah kebodohan dan pembodohan atas kemerdekaan itu sendiri. Kita tak perlu meneriakkan kesejatian kemerdekaan, apabila masih tertindas oleh perintah syahwat, oleh nafsu perut dan kelamin, juga amarah yang meledak-ledak.

Bagaimana mungkin kemerdekaan tercipta kalau masih terbelenggu oleh syahwat, nafsu perut dan kelamin, serta amarah yang meledak-ledak? Ketika datang kewajiban, kita enggan menaati. Kita selalu terjebak oleh perbuatan keji dan munkar, bahkan bangga saat melakukannya.

Kita juga lebih mementingkan perut dan kelamin daripada urgensi kemerdekaan itu sendiri. Kita selalu marah dan meluapkan emosi saat kerabat terdekat tak lagi sejalan pemikirannya.

Apakah hal itu yang namanya merdeka? Atau, apakah merdeka 100% itu berarti bebas melakukan apa saja tanpa ada batas? Kalau seperti itu, tentu berbeda dengan kemerdekaan ala Si Toge.

*********

Dalam sebuah majelis, Pak Kiai melempar pertanyaan kepada seluruh santri yang ada di depannya:

"Kalian tahu, bagaimana derajat orang yang hanya mementingkan perut dan kelaminnya saja?"

Santri-santri terdiam penuh tanda tanya.

"Derajat mereka tidak jauh berbeda dengan sesuatu yang dikeluarkan dari perut dan kelaminnya," lanjut Pak Kiai yang membuat seluruh santrinya tercengang dan kemudian merenung.

Kemerdekaan itu mampu menempatkan derajat diri di atas segalanya. Ia mengatakan kebenaran dan melakukan kebenaran. Ia tidak munafik. Teriak hentikan korupsi kemudian tidak melakukan korupsi. Teriak berantas narkoba juga tidak memakai dan mengedarkannya.

Ia tidak menjadi munafik. Tidak menjadikan kekufuran intelektual di dalam hati dan pikirannya penuh sesak. Ia bangga atas prestasi, bangga terhadap kebenaran yang dijunjung, setinggi derajat yang diangkatnya.

Ia berbicara keadilan kemudian berbuat adil sejak dalam pikiran. Tidak merasa tertindas dengan keadaan sedang menindas. Seperti itulah kemerdekaan yang sejati.

Merdeka bukanlah hal yang tabu untuk diperjuangkan. Berjuang demi kemerdekaan diri memang harus terus dilakukan, tidak boleh menyerah dan putus asa. Berani berbuat benar, mengakui kesalahan, tidak munafik, berprestasi, menjadi abdi masyarakat, serta tidak semena-mena atas kekuatan dan kekuasaan yang berada dalam genggaman.

Selain itu juga senantiasa memberanikan diri untuk melebur pada keteraniayaan dan ketertindasan, untuk kemudian merasakan kepedihan bersama seraya menciptakan solusi bagi perubahan. Itulah merdeka 100%.

Karena ketika kita tidak mampu memerdekakan diri dengan sempurna, maka kekufuran intelektual akan segera dirasakan. Saat pemikiran dibelenggu oleh pembatasan-pembatasan yang terbuat dari dinding beton, kita tidak akan mampu menghancurkannya, kecuali berjuang untuk keluar dari pemenjaraan pikiran.

Kita harus bisa dan berani untuk bebas berpikir. Berbeda pun tak masalah, dan tidak perlu mengancam atau merasa terancam. Sebab berbeda adalah keniscayaan yang lahir dari kandungan rahman dan rahim.



Wallahu A'lam...


*Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar