Banner

Breaking News

Nilai-Nilai Pancasila untuk Keutuhan NKRI




Oleh: Redaksi Media NU Kota Bekasi

Pancasila, menurut Bung Hatta dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif, terkandung tiga unsur di dalamnya. Pertama, tradisi kolektivisme desa-desa. Kedua, nilai-nilai Islam yang terdapat pada Piagam Madinah. Ketiga, nilai etik kemanusiaan yang ada pada Sosialisme Barat. 

Bung Karno pun pernah mengatakan dalam pidato pada 1 Juni 1945, bahwa Nasionalisme bangsa Indonesia bukanlah nasionalisme sempit seperti Bangsa Jerman. Yakni yang disebut Chauvinisme, yang menganggap bangsa lain lebih rendah dari bangsa sendiri. Akan tetapi, Nasionalisme yang dimaksud Bung Karno adalah Nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya Internasionalisme.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1984-19991 KH Ahmad Shiddiq memandang Pancasila sebagai washilah (sarana) untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, Pancasila menjadi jalan untuk menerapkan Syari'at Islam. 

Dalam tradisi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, menurut Imam Ghazali, tujuan diterapkannya Syari'at (maqashid syari'ah) harus sesuai dengan lima unsur. Yaitu memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara harta (hifdz al-mal), memelihara jiwa (hifdz an-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), dan memelihara keturunan (hifdz an-nasl).

Artinya, tanpa menjadikan Indonesia sebagai negara Islam tapi kelima unsur itu meliputi kehidupan masyarakat, maka Syari'at Islam sudah terterap dengan sendirinya.

Kalau sebuah negara sudah mampu memelihara agama pada segenap kehidupan rakyatnya, maka negara tersebut telah sesuai dengan Syari'at Islam. Begitu pun halnya jika negara bertanggung jawab atas pemeliharaan harta, jiwa, akal, dan keturunan masyarakatnya.

Karenanya, tak perlu menegakkan Khilafah Islamiyyah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hanya untuk menerapkan Syari'at Islam. Dengan berjalannya kelima unsur maqashid syari'ah dalam kehidupan bermasyarakat, maka Indonesia sudah barang tentu sangat sesuai dengan ajaran Islam.

Pancasila sebagai perpanjangan tangan dari Piagam Madinah, harus bisa menjadi solusi dari berbagai problematika bangsa. Selain berketuhanan, Pancasila dan Piagam Madinah sama-sama menganjurkan warga negara untuk hidup rukun, damai, dan saling menyayangi satu sama lain.

Sebagaimana yang diungkapkan Rasulullah ketika itu, bahwa siapa pun yang melanggar perjanjian dalam Piagam Madinah, maka silakan angkat kaki. Sedangkan siapa saja yang ingin hidup damai, haruslah dilakukan dengan upaya saling bahu-membahu dan gotong-royong dalam menjaga ketenteraman dan stabilitas negeri.

Madinah bukan Negara Islam. Melainkan negara yang berperikemanusiaan, negeri yang berkedaban, dan tanah air bagi segenap bangsa yang telah tercerahkan untuk hidup berdampingan. Semula bernama Yatsrib. Kemudian Rasulullah mengubahnya Madinah, sebagai labelisasi peradaban yang telah maju.

Ketua Umum PBNU KH Sa'id Aqil Siroj pernah mengatakan, apabila ada negara yang maju di bidang akhlak dan moral, maka disebut ats-tsaqofah. Kalau ada negara yang maju di bidang ilmu pengetahuan, disebut al-hadoroh

Sedangkan jika ada negara yang kedua-duanya maju, maka negara tersebut adalah tamaddun; kata lain dari Madinah, yang berarti sebuah tatanan masyarakat berperaturan, taat dan sadar akan hukum yang berlaku, serta menjunjung tinggi etika, moral, dan akhlak sebagai bagian terpenting dalam menunjang ilmu pengetahuan. 

Oleh karenanya, Indonesia dengan Pancasila semestinya sudah mampu menerapkan berbagai tata cara kehidupan yang telah diberlakukan oleh Nabi Muhammad saat itu. Kalau pun ternyata, Indonesia sebagai sebuah negara, belum mencapai tatanan kehidupan masyarakat yang madani, bukan Pancasila yang harus disalahkan dan digantikan dengan ideologi lain sebagai dasar negara.

Kita kerapkali menemui fenomena yang sangat bertentangan dengan nilai luhur Pancasila. Seperti misalnya hak-hak buruh yang tak terbayarkan, kapitalisme yang menggerus sendi-sendi kehidupan masyarakat, atau juga korupsi yang menjadi biang keladi dari rusaknya moral bangsa, serta fenomena lainnya yang berpotensi merusak karena tidak sesuai dengan Pancasila.

Penulis buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan, Yudi Latif, menggambarkan bahwa sila pertama hingga kelima saling bertaut dan berkait.

Menurutnya, jalan dari ketuhanan menuju persatuan yang konkret haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sementara jalan dari persatuan menuju keadilan sosial, wajib hukumnya untuk melalui nilai-nilai kerakyatan yang bermusyawaratan. 

Sedangkan tiga poros utama Pancasila adalah ketuhanan, kebangsaan-persatuan, dan keadilan ekonomi. Mustahil Indonesia akan maju dan berkembang menjadi bangsa yang besar kalau masyarakatnya tidak berketuhanan. Ini menjadi sumber dari segala macam kebaikan. 

Indonesia juga tidak mungkin berubah menjadi negara yang kokoh dan kuat kalau nilai kebangsaan serta persatuan rapuh. Dalam tradisi NU, kita tentu akrab dengan istilah Tri Ukhuwah yang dicetuskan oleh KH Ahmad Shiddiq. Ketiga itu yakni, Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam), Ukhuwah Wathoniyah (persaudaraan antar sesama warga negara), dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan antarmanusia).

Bersyukurlah kita bahwa nilai-nilai Pancasila lahir sejak berabad-abad lalu sebelum secara politik negara Indonesia merdeka. Maka sudah tentu bahwa persatuan telah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat. Itulah yang disebut Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara keadilan sosial adalah tujuan luhur yang harus bersama-sama diwujudkan oleh bangsa Indonesia. Ironinya, ketimpangan sosial dan kemiskinan masih menjadi potret buruk di Bumi Pertiwi; hingga kini.

KH Abdurrahaman Wahid dalam suatu kesempatan pernah mengemukakan argumentasi yang hingga kini seringkali dikutip oleh berbagai pihak, bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah sebuah ilusi belaka (peace without justice is an illusion).

Dari semua itu, maka pekerjaan rumah kita saat ini adalah harus terus melestarikan dan tetap menggelorakan Nasionalisme kepada generasi-generasi di masa mendatang. Tujuannya agar gerakan-gerakan ekstremisme segera pergi dari tanah air Indonesia.

Sebab Pancasila dilahirkan untuk menjaga marwah bangsa dari gerakan ekstrem kiri dan kanan. Pancasila adalah jalan tengah. Seperti ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, Pancasila juga terdapat keseimbangan (tawazzun), proporsionalitas (i'tidal), moderat (tawassuth), dan penuh welas asih (tasamuh).

Di dalam Pancasila memang memiliki unsur kiri dan kanan. Namun, Pancasila tetap berada pada koridornya sendiri. Menyerap segala kebaikan dari ideologi kiri maupun ideologi kanan. Tetapi dengan begitu bukan berarti Pancasila adalah bagian dari kiri atau kanan. Serapan nilai itulah yang membuat Pancasila sempurna, menjadi penyempurna ideologi-ideologi, dan menjadi satu-satunya di dunia. 

Kalau tiap-tiap manusia Indonesia mengamalkan nilai-nilai Pancasila, minimal di lingkungan terdekatnya, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan hidup dan utuh selama-lamanya.

Wallahu A'lam...


(Penulis adalah Aru Elgete, Pengelola Media NU Kota Bekasi)


Tulisan di atas (kurang lebih) telah disampaikan dalam Dialog Publik dengan tema 'Membangun Keutuhan NKRI dengan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila' yang diselenggarakan oleh Komunitas Pembelajar Berkarya (Perkara), di Kedai Indehoy, Jatimekar, Jatiasih, Kota Bekasi, pada Ahad (10/6) lalu.

Tidak ada komentar