Banner

Breaking News

Memaknai Negara Islam dan Khilafah Kiai Mojo


Kiai Mojo

Oleh: Suci Amaliyah

Senin, 5 Agustus 2019 lalu, Persatuan Alumni (PA) 212 menggelar Ijtima Ulama ke-IV di Sentul Bogor. Pertemuan itu merekomendasikan NKRI bersyariah berdasarkan Pancasila. Tentu saja, hasil ijtima ini menuai kontroversi. Pasalnya, ini jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri.

Sebab, ideologi resmi negara itu merupakan hasil konsensus final para pendiri bangsa dalam membangun NKRI. Inilah yang mendasari saya untuk membaca ulang sejarah serta menuliskannya kembali.

Terkait negara Islam ini, Pangeran Diponegoro pernah menginisiasi wadah balad (negara) Islam dengan melakukan perang sabil (suci) terhadap kaum kafir.

Sosok yang bernama asli Ngabdul Hamid itu tidak serta-merta menerapkan wacana tentang negara Islam tanpa restu beberapa ulama. Perlu dicatat, perang tersebut bukan untuk memerangi masyarakat nonmuslim di Indonesia.

Dalam buku Jejaring Ulama Pangeran Diponegoro karya Zainul Milal Bizawie yang saya baca. Konsep pendirian negara Islam itu sendiri karena konteksnya saat itu dalam sistem kerajaan yang dipimpin oleh khalifah atau sultan. Gagasan negara Islam inilah yang membawa Ngabdul Hamid untuk melakukan elaborasi konsep jihad sekaligus khilafah.

Khilafah sebagai sebuah konsep dan sistem politik mulai diperbincangkan dalam konteks kebangsaan pasca perang jawa. Dalam Babad Diponegoro terungkap satu diskusi tentang arti khilafah itu sendiri, yang melibatkan sejumlah ulama termasuk salah satunya Kiai Mojo.

Dalam buku itu, Kiai Mojo memberi pemahaman tentang arti khilafah dan posisinya kepada Ngabdul Hamid. Menurut Kiai Mojo, khilafah itu adalah pemerintahan yang terdiri dari empat pilar kekuasaan; yakni Ratu (eksekutif), Wali (Legislatif), Pindhita atau ulama (Yudikatif), Mukmin (masyarakat sipil), yang kemudian muncul konsep Musyarakah (masyarakat) dan Roiyah (rakyat).

Masing-masing dari kesemuanya itu, tidak boleh saling membenci karena sudah menerima kekuasaan secukupnya. Pembagian kekuasaan dalam penerapan kekhalifahan oleh Kiai Mojo sebenarnya merupakan pilar-pilar kekuasaan dalam nation state bukan dalam konteks pemahaman kalangan pejuang sistem khilafah saat ini.

Dalam bukunya, Zainul Milal Bizawie menjelaskan bahwa gagasan ini sudah tersebar ke Nusantara dan menjadi pemikiran politik para ulama sejak jaman walisongo. Bahkan, sekitar empat puluh tahun lalu setelah perang Jawa, para ulama Nusantara pernah mengadakan pertemuan di Aceh dan mendeklarasikan apa yang disebut Jumhuriyyah Indunisiyah (Republik Indonesia). Padahal saat itu, di beberapa daerah masih terdapat kerajaan-kerajaan dan dikuasai Belanda.

Inilah hasil ijtihad politik para ulama Nusantara yang melebihi zamanya. Hal itu mendasari sikap politik ulama Nusantara dalam merespon berbagai persoalan di masyarakat selama masa kolonial hingga menyatakan Indonesia adalah Darul Islam atau Darul Ahdi wal Syahadah hingga menegakkan Indonesia sebagai NKRI, tanpa bungkusan syariah.

Dalam kitab Adabul Dunya Wal Diin halaman 148, Al-Mawardi mengatakan bahwa pemimpin yang berdaulat merupakan salah satu asas pokok terwujudnya kemaslahatan dunia. Untuk mewujudkan itu semua, kita harus menerapkan enam asas pokok.

Pertama, agama yang dianut. Kedua, pemimpin yang berdaulat. Ketiga, keadilan bagi seluruh rakyat. Keempat, keamanan dan ketentraman. Kelima, negeri yang subur. Keenam, cita-cita yang luhur. Ini sesuai dengan poin pancasila yang dibahas oleh para imamah (pemimpin bangsa).

Penulisan sejarah di atas perlu dibaca kembali oleh generasi saat ini, agar tidak gagal paham memaknai konsep jihad, khilafah, dan negara Islam yang sebenarnya sudah dibahas tuntas oleh para pendahulu yang pokok utamanya adalah keputusan final berdirinya NKRI. (Red: Aru Elgete)


Penulis adalah Penggerak Gusdurian Bekasi Raya

Tidak ada komentar