Banner

Breaking News

Selamat Jalan Bulan Penuh Kepura-puraan



Sumber gambar: gbi-bogor.org


Oleh: Aru Elgete

Ramadhan berakhir. Bulan yang penuh kepura-puraan itu menyisakan penyesalan yang mendalam. Sebab banyak orang yang merasa belum bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Semua orang berharap agar kembali dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya. Kalau pun bisa menawar, orang-orang saleh akan meminta kepada Allah agar sepanjang tahun adalah Ramadhan.

Demikian kata para pemuka agama di musala dan masjid, beberapa hari sebelum Ramadhan usai.

Namun, sungguh ironi. Rasa takut, sesal, dan kecewa sepeninggal Ramadhan justru berbanding terbalik. Hampir seluruh manusia merasa bahagia. Menganggap Ramadhan sebagai ajang pertandingan sehingga terdapat dikotomi; ada yang menang dan ada yang berhasil dikalahkan. 

Kalau pun demikian, anggap bahwa kemenangan kita adalah bekal untuk menghadapi hari-hari tanpa Ramadhan. Kebahagiaan kita pun dimaknai sebagai netralitas jiwa yang kembali ke fitrah. Kembali ke suci.

Kemudian, berbahagialah karena kita akan menyaksikan beragam aksi nyata tanpa kepura-puraan. Segala macam keserakahan, kemaksiatan, kedurhakaan, dan kekejaman, serta kekerasan akan segera dipertontonkan ke publik.

Diskotik kembali buka. Minuman keras didistribusikan lagi. Mucikari dan para pekerja seks siap mencari nafkah dari pria hidung belang. Masjid dan musala ramai-ramai ditinggalkan. Kotak amal dibiarkan kosong.

Tak hanya itu, Al-Quran dan kitab kuning dibiarkan menganggur, kembali menjadi penghuni lemari. Tayangan ceramah atau lomba ceramah, hafidz Qur'an, dan tabligh akbar di televisi sudah habis kontrak. Wisata kemiskinan, seperti bakti sosial, santunan anak yatim, dan sahur on the road kembali akan dilaksanakan di Ramadhan berikutnya.

Apa sebab? Tak lain karena di hari-hari selain Ramadhan, tidak ada iming-iming pahala, kasih sayang, surga, dan terhindar dari siksa api neraka.

Kemudian selain itu, kepergian Ramadhan membuat koleksi baju baru bertambah. Makan siang tak perlu repot-repot bersembunyi. Pamer segala rupa yang baru menjadi kebahagiaan tersendiri saat merayakan lebaran bersama keluarga besar.

Mustahil bersedih ditinggal Ramadhan. Karena toh ada banyak hal yang pasti kita nikmati. Tunjangan Hari Raya, misalnya. Kemudian libur panjang. Bertemu dengan orang-orang yang sudah lama tak saling kunjung. Mudik. Maka, berbahagialah bagi siapa pun yang merayakan kepergian ramadan di kampung halaman.

Pasca-Ramadhan, ketakwaan seseorang diuji. Kesalehan menjadi tameng untuk membentengi diri. Karena itu, ibadah puasa yang sesungguhnya adalah bukan sebulan penuh pada ramadan, tetapi justru setelahnya.

Menahan hawa nafsu, tidak melakukan ghibah, fitnah, adu domba, bahkan menebar kebencian, dan mengobarkan api permusuhan. Namun, bukankah Ramadhan kemarin bibir kita masih saja terbasahi oleh kalimat ghibah, fitnah, dan adu domba?

Padahal, Ramadhan merupakan ajang untuk melatih diri. Ramadhan sebagai wadah agar dapat memperhalus rasa. Juga tempat peningkatan kadar intelektualitas.

Meski oleh kaum kapitalis, agama hanya dijadikan komoditas saat Ramadhan, sementara Islam sebagai produk termahal sepanjang Ramadhan, dan kepura-puraan sebagai media dakwah agar diterima masyarakat, setidaknya terdapat intisari yang dapat kita ambil dari semua itu.

Misal, ceramah dari ustadz yang ngartis atau tausiyah dari artis yang mulai berani ngustadz yang sepanjang Ramadhan tayang di televisi, pasti terdapat hal-hal yang bisa dijadikan sebagai bekal menuju arena pertandingan yang lebih menantang dari sekadar Ramadhan yang penuh kepura-puraan. 


*********

Lantas, apa yang akan kita lakukan setelah Ramadhan?

Pertanyaan itu dikembalikan pada diri masing-masing. Tak perlu dijawab, karena khawatir timbul riya'. Siapa pun yang diberi pertanyaan mengenai harapan, pasti akan menjawab dengan kata-kata manis bak politisi negeri ini. 

Paling minimal adalah jawaban tentang introspeksi dan pertobatan diri. Tapi, belum tentu juga dapat terlaksana. Namanya manusia, tempatnya salah dan lupa.

Kira-kira seperti itu kalimat panjang lebar versi orang-orang yang selalu memakai strategi bertahan. 

Mulai besok, atau barangkali seminggu kemudian, kita akan menyaksikan hari-hari yang tentu berbeda dengan Ramadhan. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Sebab hanya Ramadhan yang segala sesuatunya tidak berjalan seperti biasa. 

Apa pun yang akan terjadi di kemudian hari, pasti bisa dihadapi asal dengan bekal yang cukup dan memadai. Kalau pada Ramadhan kemarin, kita hanyut dalam kepura-puraan, atau terbawa oleh angin permusuhan, dan tergulung oleh gelombang kebencian, maka dapat dipastikan kita akan kalah oleh derasnya kejahatan yang menyakitkan di hari-hari tanpa Ramadhan.

Jadi, selamat jalan bulan penuh kepura-puraan. Aku akan hidup tanpamu selama sebelas bulan. Menahan hawa nafsu dari kenyataan yang tidak dibuat-buat. Aku mesti berpuasa di antara orang-orang yang tidak berpuasa. 

Aku harus melakukan ibadah di saat orang-orang sudah enggan melakukan ibadah. Aku kembali berdakwah melalui jalan sunyi, saat keramaian mulai diisi dengan hura-hura. 

Karena nyatanya, ibadah di bulan Ramadhan tidak lebih sulit dari ibadah di sebelas bulan setelahnya. Baik ibadah ritual, ibadah intelektual, atau pun ibadah sosial. Semuanya akan lebih berat daripada segala hal yang dilakukan kemarin hari; saat Ramadhan, sebulan penuh.

Wallahu A'lam...


*Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar