Banner

Breaking News

Indonesia Bukan Negara Agama, Tetapi Negeri Qur'ani



Oleh: Aru Elgete 

Dalam beberapa kesempatan, di hadapan teman-teman, saya sering berkelakar tentang sesuatu yang barangkali dianggap tak etis. Saya katakan dengan nada yang tidak serius, "Saya ingin revisi al-Quran".

Praktis, membuat teman-teman tercengang. Ada pula yang menghakimi saya; tetapi dengan nada yang tidak terlalu serius juga. Sebagian lagi menyatakan kesepakatannya. 

Maksud saya bukan menghapus ayat-ayat al-Quran dan menggantinya dengan kitab suci baru yang berbeda sama sekali dengan al-Quran. Memang, al-Quran yang saat ini kita tahu adalah bentuk modifikasi baru yang tidak dilakukan Nabi Muhammad. Namun, bukan itu yang sedang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.

Saya hanya ingin merevisi al-Quran dalam hal penafsiran dan penggunaan ayat-ayatnya. Sebagai contoh, di dalam al-Quran tidak ada sama sekali ayat yang melarang perbudakan. Justru anjuran untuk memelihara budak dan menggauli budak di luar nikah diperbolehkan dalam al-Quran.

Kalau penafsiran kita terhadap kitab suci terakhir itu hanya secara harafiyah, perbudakan pun akan terus berlaku sampai sekarang. Atau, kalau kita mau melakukan perbudakan itu, niscaya kita menyetujui keberadaan ISIS yang membolehkan perbudakan. Sementara ISIS adalah organisasi yang terlarang di negeri yang damai ini.

Di dalam tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah, menafsirkan al-Quran itu harus sejalan dengan akal. Kalau ada ayat yang tidak bisa terjangkau akal, maka akal itu harus tunduk terhadap wahyu atau ayat. Menurut Muhammad Abduh, salah seorang mufassir kenamaan, ayat-ayat al-Quran itu sejalan dengan akal. Kalau ada ayat yang tidak sejalan dengan akal, pahamilah itu sebagai majas atau kiasan.

Ayat al-Quran itu sifatnya lentur, siapa pun bisa menafsirkan tanpa harus merujuk pada ulama-ulama ahli tafsir. Karena sifatnya yang seperti itu, maka saya akan merevisi al-Quran dengan mengambil beberapa ayat yang sesuai dengan konteks kekinian.

Meninggalkan sebagian ayat di dalam al-Quran tidak lantas melunturkan keislaman dan keimanan di dalam diri. Saya meyakini misalnya, poligami itu perintah Allah yang termaktub dalam teks suci. Namun, tidak menjadi persoalan ketika saya tidak memilih poligami sebagai jalan hidup. Begitu pun soal perbudakan.

Tak sedikit pula di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menganjurkan umat Islam untuk berperang dengan yang bukan Islam. Selain itu juga ada ayat yang menerangkan untuk memerangi orang yang keluar dari institusi agama Islam. Hal-hal seperti itu, saya maknai sebagai kejadian yang pernah terjadi dan menjadi sejarah dari Islam sendiri.

Sebab dalam hal turunnya wahyu, ketika itu, terlebih dulu ada kejadian yang berlangsung. Kemudian wahyu itu sebagai keterangan atau solusi dari kejadian dan peristiwa yang terjadi. Kalau ayat-ayat itu masih diamalkan, tentu akan mencederai peradaban yang sedang berkembang.

Menurut saya, kitab suci apa pun, termasuk al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Maka, revisi ayat al-Quran perlu dilakukan. Istilah revisi yang saya maksud adalah mengamalkan ayat-ayat yang cenderung memberikan kedamaian dan ketenteraman bagi umat manusia.

Dalam perjalanan keberagamaan yang saya rasakan, kedua orang tua saya sering menyatakan dan memberi nasihat bahwa ketika kita selesai mengaji atau membaca al-Quran merasakan kedamaian dalam jiwa, maka itulah substansi dari kitab suci.

Akan tetapi, saat selesai mengaji atau membaca al-Quran hati kita justru menyimpan kedengkian dan permusuhan kepada orang lain. Terlebih, misalnya, permusuhan itu dikuatkan karena beberapa ayat al-Quran yang seolah mendukungnya, maka ada yang salah dari cara mengaji dan membaca al-Quran yang dilakukan. Membaca dan mengaji yang dimaksud adalah menadabburi tiap-tiap ayat yang dibaca.

Nah, Indonesia akhir-akhir ini sedang dihebohkan dengan aksi radikalisme dan terorisme. Para pelaku teror yang mengatasnamakan agama itu berawal dari gaya menafsirkan ayat yang hanya secara harafiyah tanpa melihat konteks yang ada.

ISIS misalnya, organisasi transnasional itu menggaet orang-orang sedunia untuk sejalan dengan mereka. Hal itu dilakukan berdasar penafsirannya terhadap ayat-ayat yang terdapat di kitab suci. Bisa dibilang, perilaku ISIS seperti membawa peradaban Islam mundur jauh sampai ke abad ketujuh.

Di dalam litetatur Islam, ada dua kategori negara; Dar al-Harb (Negara Kafir) dan Dar al-Islam (Negara Islam). Sementara Indonesia berada di antara keduanya, bukan negara kafir juga bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang mengakui keberadaan Tuhan. 

Oleh karena itu, Indonesia menerima keberadaan semua agama. Maka, disebutlah Indonesia ini sebagai Darussalam (Negara Damai) yang disepakati ulama-ulama Indonesia pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Karena pada kenyataannya, Indonesia adalah negara yang berupaya memberikan kedamaian bagi setiap agama.

Di tengah maraknya fenomena radikalisme dan ujaran kebencian atas nama agama, saya mengimbau agar kita kembali kepada al-Quran dan membaca serta menadabburi ayat-ayat yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Ini dilakukan dalam rangka membendung gerakan takfir. 

Hal tersebut juga dilakukan juga semata-mata karena kecintaan terhadap Indonesia yang Darussalam itu. Saya tetap mencintai Indonesia dengan keragaman tanpa penyeragaman.

Karena menurut al-Quran sendiri keragaman adalah sesuatu yang sudah given, hukum alam, takdir ilahi, atau sunnatullah (QS Al-Ahzab: 62). Maka, penolakan terhadap keragaman yang ada termasuk perbuatan yang menodai ketetapan Allah. Ayat semacam ini tentu berbeda dengan ayat-ayat tentang peperangan yang ditafsir ISIS. 

Indonesia menjadi tempat yang indah karena perbedaan yang melimpah. Perbedaan-perbedaan yang ada diyakini sebagai anugerah dari Allah Yang Mahakuasa. Karena tanda-tanda kekuasaan itu diantaranya menciptakan kita dengan beragam bahasa dan warna kulit (QS Arrum: 22).

Diskriminasi terhadap perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan pengerdilan kekuasaan Allah. Maka, sebagian besar orang Indonesia memilih untuk menoleransi segala yang ada sebagai bentuk kebertuhanan atau keilahian mereka.

Selain Allah sebagai pencipta langit dan bumi itu; Allah Yang Tunggal, tidak ada satu wujud pun yang betul-betul menyerupai-Nya (QS As-Syuro: 11). Tidak ada kemiripan dalam penciptaan manusia, anak kembar sekalipun, merupakan tanda bahwa Allah Yang Ahad itu adalah Tunggal dan Kuasa atas segala sesuatu.

Aksi saling pentung, pemaksaan dalam hal beragama, tidak menerima kalau ada yang berbeda, teriak dengan menggunakan nama Allah untuk melegitimasi tindakan anarki, sama sekali tidak mencerminkan keberimanan diri kepada Allah. Padahal, Allah tidak pernah memaksakan kehendak. 

Dalam QS Yunus ayat 99, Allah tidak pernah menggunakan Kemahakuasaannya yang mutlak itu untuk memaksakan agar semua manusia di muka bumi ini beriman. Jadi, bagaimana dengan mereka yang kerjanya selalu memaksa agar sama, padahal Allah sendiri tak pernah memaksa? Hal serupa juga terdapat dalam QS Al-Kahfi ayat 29.

Allah juga melarang para Rasul-Nya melakukan pemaksaan. Sebab, terutusnya seorang Nabi bukan sebagai diktator tapi sebagai pemberi peringatan (fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta 'alaihim bimushoitir).

Memberi peringatan tentu berbeda dengan memaksa, apalagi dengan melakukan tindak kekerasan atau kekejaman. Larangan Tuhan terhadap Nabi itu juga dimuat dalam redaksi QS Al-Ahzab ayat 45. Bahwa seorang utusan itu tugasnya hanya tiga. Yaitu memberi kesaksian, memberi kabar, dan memberi peringatan.

Kalau Nabi saja dilarang melakukan pemaksaan, lantas bagaimana dengan kita yang hanya seorang manusia biasa? Maka lebih spesifik, dalam surat Al-An'am ayat 108, Allah seperti melarang kita untuk saling menghujat dan melempar kebencian kepada sesembahan umat lain. Sebab kalau kita menghujat, akan timbul hujatan-hujatan yang baru tanpa berdasar pada ilmu pengetahuan.

Penciptaan dalam bentuk yang beragam adalah sebuah kesengajaan Allah dalam menguji kita agar saling berkompetisi dalam kebaikan (QS Al-Maidah: 48 & Al-Baqarah: 148). Sementara kompetisi itu adalah bentuk kebersyukuran terhadap Allah yang telah mempersilakan manusia untuk saling mengenal satu sama lain (QS Al-Hujurat: 148).

Maka, marilah berkompetisi dalam kebaikan dan kenalilah semua hal yang berbeda dengan kita. Hal tersebut agar tidak ada lagi prasangka buruk yang timbul akibat keengganan kita untuk saling mengenal lebih dalam lagi.

Dari uraian beberapa ayat al-Quran yang sejalan dengan konteks keindonesiaan yang sangat beragam ini, menunjukkan bahwa Indonesia memang bukan negara agama, tetapi negeri yang Qur'ani.

Maka, siapa pun orangnya yang menyatakan bahwa Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan Allah adalah orang-orang atau sekelompok orang yang jahat nan keji.

Bagaimana dengan kita? Wallahu A'lam.


*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Media NU Kota Bekasi, Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi, Mahasiswa Jurnalistik Unisma Bekasi, dan Kontributor NU Online

Tidak ada komentar