Banner

Breaking News

Ketika Santri Jadi Kaum Radikalis


Sumber gambar: detik.com

Oleh: Syamsul Badri Islamy

Dulu, Belanda memandang pesantren sebagai kelompok yang bandel. Tidak menarik dan berpotensi mengancam kewibawaan pemerintah kolonial. Di saat kerajaan-pemerintahan yang semula menjadi motor perlawanan penjajah, tetapi belakangan melempem karena harta dan tawaran jabatan; pesantren tampil kalem. Namun, sesekali radikal dalam menyikapi tingkah-polah penjajah.


Belanda sama sekali tidak melirik pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti diresmikan. Hal itu, barangkali, yang menjadi penyebab Resolusi Jihad sempat terpinggirkan dari panggung sejarah nasional.


Belanda tentu memandang HIS dan HBS-nya yang modern itu, sebagai alat propaganda dan penyebar ideologi yang strategis. Bagaimana pun, mereka mewarnai pendidikan di Indonesia puluhan tahun lamanya.


Pesantren dengan identifikasi tradisionalnya yang cenderung minor, namun konsisten berpegang teguh pada khittah perjuangan, menjadi ancaman tersendiri bila diberikan ruang lebih. Karenanya, ia terpaksa dimarginalkan. Bias modernisme yang memunculkan prasangka ilmiah (scholarly prejudices) bahwa yang tradisional dan konservatif “tidak memenuhi standar ilmiah”, juga telah membuat NU kehilangan atau bahkan dihilangkan dari (penulisan) sejarah. 


Namun, Resolusi Jihad menjadi antitesis sekaligus mementahkan dan meruntuhkan tembok stigma “tradisional” tersebut. Resolusi Jihad merupakan keputusan progresif-revolusioner yang tak dinyana sebelumnya dan mempecundangi sesiapa yang beranggapan bahwa NU itu terlampau moderat dan kompromistis dalam segala hal. Maka pada kurun Oktober-November 1945, kaum santri bertransformasi menjadi kalangan paling radikal dalam memperjuangkan kemerdekaan. 


Hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka menghadang lawan. Mempertaruhkan nyawa. Bambu runcing itu turun di medan laga, tentu bukan tanpa bekal. KH Subchi Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, misalnya, menyepuh bambu runcing dengan bacaan al-Qur’an Surat Al Anfal ayat 17 sebanyak tiga kali tanpa bernapas. Setelah merdeka, monumen bambu runcing pun didirikan di Surabaya, Bekasi, Sleman, untuk melawan lupa.


Kini Indonesia telah lebih dari 70 tahun merdeka. Memang, sejarah adalah masa lalu yang mesti diingat (dan ditulis secara objektif) sebagai bagian dari perjalanan bangsa. Namun pertanyaan berikutnya, apakah rakyat sudah benar-benar merasakan kemerdekaan itu? Bung Karno mengatakan bahwa pasca kemerdekaan kita akan melawan bangsa sendiri dan itu adalah hal yang lebih berat.


Maka, spirit progresivitas NU dalam Resolusi Jihad itulah yang mesti dihayati dan diamalkan dalam konteks hari ini. Hari Santri Nasional (HSN) yang ditetapkan sejak 2015 pada 22 Oktober itu bukan semata-mata euforia sejarah bahwa NU pernah berjasa. Melainkan mesti dibarengi dengan sikap generasi NU saat ini untuk mengawal dan menjaga apa yang sudah dibangun para pendahulu.



*Penulis adalah Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi, Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar