Banner

Breaking News

Pendapat Para Ulama Komunikasi Soal Pembakaran Bendera



Oleh: Ahmad Fauzi

Beberapa waktu lalu di Indonesia ramai mengenai persoalan pembakaran 'Bendera Tauhid' dalam acara Hari Santri 22 Oktober 2018, di Limbangan, Garut, Jawa Barat. Buntut dari adanya pembakaran tersebut adalah demo sebanyak 2 jilid yang dilakukan umat Islam. 

Mereka menuduh bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang menistakan agama Islam. Dalam membaca persoalan tersebut, kita mesti menggunakan kacamata yang tepat. Sehingga ketika menangkap realitas dan teks yang ada di kehidupan, setidaknya umat Islam harus 'ngaji' kepada Roland Barthes dan Dithley. 

Roland Barthes dalam Kitabnya yang masyhur berjudul Mythologis berupaya mendedah dan memahami sebuah simbol atau tanda. Penafsir harus bisa membedakan makna denotasi, konotasi, dan mythos. Bila kita kaitkan dengan peristiwa pembakaran bendera, apakah pembakaran bendera tersebut merupakan bentuk penistaan?

Label penistaan agama yang disematkan merupakan bentuk upaya memitoskan simbol atau tanda. Menurut Syaikh Roland Barthes, mitos bukanlah sesuatu yang bohong. Namun, satu pembelokan terhadap obyek.

Kemudian, bila kita tetap memaksakan bahwa pembakaran bendera itu merupakan benar sebuah penistaan agama yang harus didemo berjilid-jilid, menurut Abuya Dithley, kita juga harus melihat landasan dimensi kesejarahan si pembakar. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?

Sebuah peristiwa tentu tidak berdiri sendiri. Akan tetapi terdapat struktur dan penyebab yang terjadi sebelumnya. Namun, penulis menyarankan bila argumentasi penistaan agama tetap ingin digaungkan silakan. Toh Jacques Derida berasumsi, siapapun berhak atas teks yang telah diproduksi.

Penafsiran terhadap sebuah teks tidak bisa dilepaskan dari unsur ideologis dari penafsir. Sehingga mari sama-sama kita lihat, siapa penafsir pembakaran 'Bendera Tauhid'? 

Unsur ideologis yang melatarbelakangi, membuat produk penafsiran menjadi sangat subyektif. Peninjauan teks perlu dilihat dengan berbagai macam kacamata, agar kita tidak terjebak pada satu pandangan saja dan menihilkan pandangan yang lain. Sehingga produk tafsiran dalam memahami teks atau realitas tidak menjadi leviathan atau monster yang memakan pandangan yang lainnya.

Bila hanya ada satu wacana dominan dalam memahami teks atau realitas ruang publik, menurut Jurgen Habermas, tidak lagi menjadi ruang yang demokratis sebagai wahana diskursus masyarakat, apabila opini yang menilai pembakaran bendera itu bukanlah sebuah penistaan, sehingga perlu didemo dan dicap sebagai penista.

Maka dari itu, perlulah adanya etika diskursus untuk membangun pertarungan wacana yang sehat dan bergizi. Wallahua'lam...


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmi Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Pendiri Ruang Literasi Bekasi

Tidak ada komentar