Banner

Breaking News

Hari Toleransi Internasional: Membangun Kerukunan dan Persaudaraan



Sumber gambar: gituaja.com


Oleh: Redaksi Media NU Kota Bekasi

Pada setiap tanggal 16 November, seluruh umat manusia di muka bumi merayakan sebuah momentum spesial. Yakni International Day for Tolerance atau Hari Toleransi Internasional.

Kapan awal mula tercetusnya Hari Toleransi Internasional?

Hari berbahagia tersebut mulai diperingati sejak 1996. Ketika itu, Majelis Umum United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengundang negara-negara anggota untuk mematuhi Hari Toleransi Internasional pada 16 November. Demikian yang dikutip dari laman resmi PBB, un.org, pada Jum'at (16/11) dinihari.

Tanggal 16 November adalah Hari Lahir PBB. Pada perayaan Harlah PBB ke-50, yakni tahun 1995, negara-negara anggota UNESCO mengadopsi sebuah Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi. Salah satu isi dari deklarasi itu adalah menegaskan sebuah cara untuk menghindari ketidakpedulian.

Latar belakang deklarasi tersebut adalah karena banyaknya kasus ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi di banyak negara. Padahal keragaman agama, bahasa, budaya, etnis, dan bahkan argumentasi kita bukan sebuah dalih untuk kemudian melakukan konflik dan perusakan di muka bumi.

Dus, deklarasi itu dibuat sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap keberagaman yang ada di dunia. Bentuk ekspresi pula serta cara manusia menjadi manusia. 

"Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia," kata  Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama pena Multatuli, seorang penulis asal Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (novel satiris yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda).

Nah sikap toleransi kepada sesama manusia merupakan bentuk pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal dan juga kebebasan fundamental orang lain. Dengan adanya keberagaman manusia, toleransi bisa menjamin kelangsungan hidup komunitas di setiap wilayah dunia.

Dalam ajaran serta doktrin agama samawi juga terdapat anjuran untuk berbuat toleran. Nabi Ibrahim atau Abraham, seorang Bapak Rohani dari seluruh umat beragama di muka bumi ini membawa misi toleransi dalam upaya-upaya menegakkan tauhid.

Agama yang dibawa dan diperkenalkan di zamannya, bukanlah yang bernama Islam, Nasrani, Kristen, Katolik, dan Yahudi. Akan tetapi, agama yang menjunjung tinggi prinsi-prinsip kebenaran (tauhid) dengan tidak keluar dari jalur atau koridor yang telah ditentukan, serta mampu mengkristalisasikan ajaran tauhid itu menjadi welas asih terhadap sesama makhluk di dunia.

Itulah yang disebut ad-din hanifiyatus samhah. Yang kemudian oleh para utusan Allah berikutnya, hingga Nabi Muhammad dilanjutkan estafet dakwah mengenai doktrin agama itu. 

Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran. Begitu Sabda Nabi Pamungkas, suami dari perempuan yang pipinya kemerah-merahan. 

Nah, lantas bagaimana sikap kita dalam berkehidupan sosial di masyarakat yang tentu menyadari bahwa semua makhluk, termasuk manusia, diciptakan dengan beragam latar belakang, karakter, dan kebudayaan?

Sumber gambar: dayakdreams.com


Sudahkah kita mengamalkan nilai-nilai toleransi? Bagaimana toleransi itu?

Saya mengklasifikasi sikap toleransi seorang manusia menjadi lima jenis. Kesemuanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia. Kelima sikap toleransi itu, silakan diidentikkan dengan perilaku toleransi kita selama ini.

Pertama, exclusive confrontative. Sikap ini adalah bentuk eksklusivisme yang kerap berhadap-hadapan jika melihat ada keberbedaan di hadapan mata. Karakter seperti ini yang dapat memercik api konflik hingga menimbulkan kerusakan, pertikaian, dan bahkan pembunuhan. Salah satu contohnya adalah ISIS.

Kedua, exclusive acomodative. Masih sama dengan yang pertama. Ia tidak bisa menerima ada kebenaran selain yang dianggapnya benar. Akan tetapi, secara sosial, orang yang memiliki karakter seperti ini dapat menerima manusianya untuk bergaul dan berkomunikasi di dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya adalah orang-orang yang beberapa tahun lalu tergabung dalam organisasi transnasional: Hizbut Tahrir, atau Ikhwanul Muslimin yang menjadi partai politik di negeri ini bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Ketiga, indifferent tolerance. Sikap ini adalah bentuk toleransi. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki karakter seperti ini akan merasa cuek terhadap orang lain yang berbeda. Mereka mampu memahami bahwa ada perbedaan yang bersifat sunnatullah, tetapi mereka mencoba tidak peduli kepada perbedaan itu sendiri.

Contohnya adalah orang-orang yang ketika momentum perayaan hari raya agama lain, mencoba melakukan toleransi dengan tidak mengganggu tetapi juga tidak berbuat kebaikan apa-apa untuk kelancaran dan kebahagiaan hari raya agama lain. 

Contoh lain, ketika ada tetangga yang berbeda agama atau suku meninggal dunia, mereka tidak memiliki kepedulian untuk bertakziah atau menyampaikan bela sungkawa dengan mendatangi rumah tetangga yang sedang dilanda musibah itu, lantaran keyakinan atau latar belakang yang berbeda.

Keempat, engaging tolerance. sikap ini adalah kebalikannya dari yang ketiga. Pada fase ini, seseorang akan mampu akomodatif terhadap orang lain yang berbeda. Mereka meyakini, bahwa persoalan akidah dan sosial merupakan dua hal yang berbeda.

Secara sosial, mereka mau bahu-membahu. Termasuk misalnya mengadakan bakti sosial dan berbagai pertemuan-pertemuan lintas agama. Mereka mampu berdialog dengan tetap memegang teguh keyakinan atau akidahnya secara konsisten dan tidak bergoyah sekalipun, hanya karena berbaur dengan orang lain yang berbeda.

Kelima, pluralist. Orang-orang yang sudah mencapai tahap ini hanya sedikit sekali. Sebab, rentan terhadap berbagai tudingan miring yang akan menerpanya. Seorang yang pluralis senantiasa meyakini bahwa dunia ini adalah plural, beragam.

Karena itu, mereka mampu meyakini bahwa ada kebenaran lain yang harus dihargai selain dari kebenaran yang diyakininya. Kemudian, seorang pluralis ini senantiasa dialogis-akomodatif. Keakuannya telah menjadi 'aku' yang lain.

Sehingga timbul pemahaman bahwa setiap manusia adalah sama, setara. Kesetaraan itulah yang kemudian membawanya kepada sebuah rasa welas asih, cinta kasih, dan bela rasa. Ia menjadi manunggal dengan yang lain. Menjadi satu kesatuan yang jika orang lain merasa sakit, ia juga akan merasakan kesakitan itu.

Sumber gambar: kemenag.go.id

Nah kalau sudah mencapai fase tersebut, maka akan tercipta sebuah kerukunan. Namun, kerukunan juga memiliki berbagai tahap. Setidaknya ada tiga rangkaian.

Pertama, toleransi. Ya, toleransi baru tahap awal dari pembentukan rasa rukun, bukan akhir dari upaya pendamaian. Toleransi, titik awal keberangkatan seseorang menjadi manusia yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dan kemudian terkristal menjadi sebuah kedamain bagi orang lain yang berbeda.

Toleransi memang penting dilakukan. Sikap saling menghargai dan menghormati terhadap perbedaan akidah atau agama harus diterapkan dalam kehidupan. Akan tetapi, sekali lagi saya tegaskan bahwa toleransi itu hanya bagian permukaan dari terwujudnya sebuah kerukunan.

Kedua, kesetaraan. Setelah toleransi diterapkan maka perlu adanya kesetaraan. Dalam kerukunan, segala macam perbedaan harus ditiadakan. Kita harus senantiasa mencari titik temu dari berbagai perbedaan yang ada. Itulah wujud dari kesetaraan.

Kalau nilai-nilai kesetaraan itu sudah muncul, perbedaan agama, suku, budaya, dan berbagai latar belakang lainnya tidak akan menjadi momok menakutkan untuk membangun kerukunan. Sebab, kesetaraan itu adalah sebuah kesadaran bahwa semua manusia di muka bumi memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Ketiga, kerjasama dengan orang lain yang berbeda. Di segala bidang, jika ingin membangun kerukunan, maka kerjasama ini harus dilakukan. Kerjasama berarti sudah saling mampu menaruh kepercayaan satu sama lain.

Nah, kerjasama antar umat beragama itu sangat penting guna membangun kerukunan. Itu menjadi puncak dari terciptanya kerukunan dan persaudaraan. 

Bagaimana? Sudah seberapa jauh kita bertoleransi dan berwelas-asih kepada saudara kita yang berbeda? Jadi, mari membangun kerukunan dan persaudaraan dengan dimulai dari sikap toleran terhadap perbedaan.


Aru Elgete, Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar