Banner

Breaking News

Kasus Baiq Nuril, Di Mana Posisi Agama?



Oleh: Ahmad Fauzi

Baiq Nuril Maknun divonis bersalah dan harus mendekam di penjara serta membayar denda Rp500 juta. Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) disebabkan karena merekam telpon mesum Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram.

Kasus ini mulai muncul ke ranah publik pada 2016 silam. Setelah proses persidangan pada 2017, Nuril sebenarnya sudah dinyatakan tidak bersalah. Namun, proses kasasi diajukan dan keputusan berubah 180 derajat. Nuril akhirnya terkena pasal UU ITE karena dituduh sebagai penyebar rekaman tersebut.

Nuril hanyalah segelintir dari korban bobroknya penerapan hukum di Indonesia. Nuril berdiri sendiri membela apa yang seharusnya tidak ia dapatkan. Yakni putusan pidana dan denda.

Lantas dalam melihat realitas seperti ini, di mana posisi agama? Terlebih Islam. Apakah agama hanya tajam bila simbolnya dihina. Jika hal ini diamini maka benarlah yang dikatakan Karl Marx, bahwa agama hanya menjadi candu.

Menurut Asgar Ali Enginer, setidaknya agama memiliki dua wajah dalam kehidupan. Pertama, sebagai tempat keluhan kaum tertindas. Kedua, menjadi senjata untuk revolusi melawan status quo yang zalim.

Ali Syari'ati dalam istilah Al-Qur'an, yakni Istid'af diartikan bukan semata berarti 'kelemahan atau keputusasaan'. Itu adalah kata jadian yang sama dengan istibdad (despotisme), isti'mar (kolonialisme), dan istismar (eksploitasi).

Setiap kali raktat dilemahkan di berbagai bidang, maka terjadilah istid'af dan korbannya adalah mustad'afin. Nuril adalah mustad'afin yang juga harus dibela oleh umat Islam, karena dirinya merupakan korban akibat lemahnya hukum.

Pada dasarnya, bila kita lihat fase syi'ar Nabi Muhammad di Makkah, banyak dari sahabat yang dibela dari Mustakbirin Makkah. Diantaranya Bilan bin Rabah.

Sehingga, semangat liberatif (pembebasan) inilah yang juga mesti kita kaji kembali agar agama senantiasa menjadi ruh dalam kehidupan. Namun, semangat liberatif ini harus mampu melampaui ranah tekstual dan simbolis. Semangat ini harus menerabas persoalan substansial.

Kasus Nuril, memberi penyadaran bahwa kita masih menganggap adanya dikotomi bahwa kasusnya tidak ada kaitannya dengan agama (Islam). Maka jika demikian, betul apa yang dikatakan Hasan Hanafi bahwa perlu adanya Rekonstruksi Teologi.

Para Teolog Muslim Klasik, menjadikan teologi sebagai basis epistemologi dalam membela dan meneguhkan keberadaan Tuhan. Sebab para ulama terdahulu melihat keimanan kepada Tuhan adalah rawan terhadap pendistorsian.

Karena itu, keimanan harus dibela dan dipertahankan dengan menggunakan argumentasi rasional. Namun, dewasa ini yang menjadi tantangan serius umat Islam adalah penjajahan dan penindasan di berbagai  sektor sosial dan kemanusiaan.

Farid Esack menyatakan bahwa teologi harus mampu menyentuh realitas kehidupan manusia. Teologi harus ditarik ke bumi dari langit. Sehingga teologi menjadi alat pembebasan.

Oleh sebab itu, ke depan, Islam akan hadir ketika masyarakat digusur. Islam hadir saat ada kemanusian dinodai. Islam hadir paling depan ketika ada eksploitasi hutan.

Implikasinya adalah tidak ada lagi stigma bahwa agama adalah candu. Bila kita kaitkan dan bandingkan dengan kasus Nuril, di mana posisi umat muslim? Sementara ini kita lebih memilih diam atau acuh tak acuh.

Ali Syari'ati pernah menulis sebuah prosa:

"Bagi Dia, Tauhid berarti keesaan (oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
Kepada-Nya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas."


*Penulis adalah Wakil Ketua PC IPNU Kota Bekasi, dan Founder Ruang Literasi Bekasi

Tidak ada komentar