Banner

Breaking News

Idulfitri, Halal bi Halal, Bung Karno, dan Kiai Wahab


Sumber gambar: tasidola.com

Oleh: Redaksi Media NU Kota Bekasi

Orang-orang saling menyambangi satu sama lain, menyalami setiap orang dengan sukacita seraya membubuhinya dengan senyum penuh cinta kasih. 

Anak-anak muda mencium punggung tangan orang tua, sebagai tanda takzim (penghormatan) dan takrim (pemuliaan) atas berbagai jasa yang telah diberikan. Demikian potret Idulfitri. 

Idulfitri menjadi pemersatu dari jiwa yang berpencar dan raga yang terpisah oleh jarak. Sehingga hari raya pasca-Ramadhan itu dijadikannya sebagai ajang silaturrahim dan momentum kebersamaan.

Dosa-dosa menjadi lebur, kebermanfaatan umur diperpanjang, dan rezeki dilapangkan. 

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturrahim).” (HR. Bukhori)

Setiap Hari Raya Idulfitri, untuk menjalankan silaturrahim, masyarakat Indonesia tentu sangat akrab dengan istilah halal bi halal.

Istilah itu lahir bukan tanpa sebab. Melainkan karena kebutuhan untuk menciptakan nilai persatuan antar sesama bangsa Indonesia.

Istilah halal bi halal, sekalipun berbahasa Arab, tapi orang Arab sendiri pun tidak paham makna dan tujuannya. Penyebutan halal bi halal diasosiasikan kepada sebuah pertemuan yang bertujuan merajut silaturrahim. 

Maka, jangan mengartikan halal bi halal secara bahasa karena akan tidak sesuai dengan tujuan dan maksud dari halal bi halal itu sendiri.

Lafadz "halal" berasal dari bahasa Arab yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, yaitu lawan kata dari "haram". Halal berarti boleh atau tidak dilarang. Sementara kata "bi" adalah huruf jar yang berarti "dengan". Oleh karenanya, secara bahasa, halal bi halal diartikan "boleh dengan boleh".

Atas dasar pemaknaan itulah, maka halal bi halal harus dimaknai dari segi sosio-kultural yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Yakni sebuah tradisi saling memaafkan satu dengan yang lainnya, yang kemudian dibumbui dengan saling berjabat tangan dan melempar senyum kebahagiaan. 

Asal-usul Halal bi Halal

Pasca-kemerdekaan, Indonesia mengalami gejala disintegrasi bangsa pada 1948. Elit-elit politik saling bertengkar, tak pernah mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, seperti DI/TII dan PKI di Madiun. 

Pertengahan bulan Ramadhan tahun 1948, Presiden Soekarno (selanjutnya, Bung Karno) berkonsultasi kepada KH Abdul Wahab Hasbullah terkait situasi politik yang sedang memanas dan tidak sehat. Bung Karno memanggil Kiai Wahab ke Istana Negara. 

Kemudian, Kiai Wahab menyarankan Bung Karno untuk segera menyelenggarakan silaturrahim karena sebentar lagi Hari Raya Idulfitri, yakni sebuah momentum umat Islam disunnahkan bersilaturrahim.

Dengan segera, Bung Karno menjawab, "Silaturrahim sudah biasa, saya ingin istilah yang lain".

"Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tak punya dosa, maka harus dihalalkan," kata Kiai Wahab. 

"Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah 'halal bi halal' saja," lanjutnya. 

Dari saran itu, saat tiba Hari Raya Idulfitri, Bung Karno kemudian mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahim akbar yang diberi judul 'halal bi halal'. 

Akhirnya, para elit politik yang semula bercerai-berai, kini duduk dalam satu meja sebagai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. 

Maka sejak saat itu, semua instansi pemerintahan menyelenggarakan halal bi halal yang kemudian diikuti pula oleh masyarakat secara luas. Terutama umat Islam di Jawa sebagai pengikut para ulama. 

Jadi, Bung Karno lewat instansi pemerintah, sedangkan Kiai Wahab menggerakkan warga di akar rumput. 

Maka secara nyata, istilah 'halal bi halal' dicetuskan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah dengan dua analisa. Pertama, thalabu halal bi thariqin halal. Yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.

Kedua, halal yujza'u bi halal; pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. 

Namun demikian, asal-usul tradisi halal bi halal sudah sejak lama dilakukan dengan tanpa nama atau istilah. Tradisi tersebut dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.

Saat sedang memimpin Surakarta (1757-1795), ia mengumpulkan para punggawa dan prajurit di Balai Istana untuk melakukan sungkem kepada Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idulfitri.

Pesan Halal bi Halal

Satu hal yang menjadi pesan penting dari istilah halal bi halal, yang dicetuskan Kiai Wahab kepada Bung Karno, atau tradisi halal bi halal yang dilakukan Pangeran Sambernyawa adalah soal memahami konteks di atas teks. 

Sebab tidak melulu teks bisa ditafsirkan dengan nalar dan logika kalau meniadakan konteks. Selain itu juga tak mungkin teks bisa berkembang kalau tanpa adanya konteks yang terus bergerak dengan sangat dinamis. 

Halal bi halal, secara teks kita tak temui makna paling inti, tapi ketika melihat konteks atau keadaan Indonesia saat istilah halal bi halal dicetuskan, kita baru tahu bahwa halal bi halal bermakna sama dengan silaturrahim. Saling sambang, memaafkan, dimaafkan, dan saling mengakui kesalahan satu sama lain. 

Dari halal bi halal, kita belajar bahwa berpikir dan bertindak secara tekstual tidak selalu tepat. Karenanya, haruslah dibarengi dengan konsteks yang ada. 

Wallahu A'lam...

*Tulisan di atas, disarikan dari beberapa sumber. Diantaranya NU Online dan Islami(dot)co

Tidak ada komentar