Banner

Breaking News

Islam Nusantara itu Islam Santai


Tradisi Islam Nusantara, ziarah kubur.

Oleh: Aru Elgete

Warga dan kader Nahdlatul Ulama yang memiliki metodologi pemikiran Islam Nusantara, merupakan penganut Islam santai. Yakni, orang-orang yang beragama dengan tidak terlalu serius tetapi juga tidak terlalu banyak bercanda.

Artinya, tidak longgar dalam beragama (liberalis), juga tidak terlalu kaku dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an (tekstualis). Sebab, keduanya itu adalah kelompok yang cenderung dan berpotensi merusak nilai-nilai luhur dalam beragama.

Menjadi liberal dan tekstual adalah dua hal yang harus dijauhkan dari pemikiran Nahdliyin, baik yang ada di dalam struktur maupun yang hanya berada pada tataran kultur. Hal itu berarti bahwa orang-orang NU tidak serta merta menuhankan akal dan mendewakan teks.

Sebagaimana dalam tradisi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, menafsirkan Al-Qur'an misalnya, kalau menemukan ayat yang tidak bisa terjangkau oleh akal, maka akal itulah yang harus tunduk pada teks. Dengan begitu, Nahdliyin bakal terhindar dari bahaya laten liberalisme dan wahabisme (tekstualis).

Maka, memesantrenkan kader biologis (anak) ke pondok pesantren adalah sebuah kewajiban. Karena hanya di pesantren, bukan hanya akidah yang dikuatkan, tetapi juga akhlak dan karakter dibentuk agar senantiasa berhalus rasa kepada setiap orang.

Santri (orang-orang pesantren) itu laksana pohon pisang. Seberapa pun ditebang, mereka akan selalu tumbuh dengan tunas-tunas yang baru. Mereka itulah orang-orang yang gemar menabur kebaikan dan terus-menerus melakukan ikhtiar kebaikan. 

Di pesantren, terutama di lingkungan NU, berbagai kitab kuning tidak hanya diperdengarkan sebagai kutipan-kutipan dari para khutoba (penceramah). Akan tetapi juga dikaji, dipahami, dan bahkan dihafal sebagai bekal menghadapi kehidupan masyarakat yang majemuk.

Mulai dari kitab fiqh hingga tasawuf, mulai safinah hingga ihya ulumiddin, dipelajari. Harapannya agar ketika telah menuntaskan pengembaraan ilmu di pondok pesantren, mereka (santri) tidak kaget dengan berbagai perbedaan pendapat yang bakal dan pasti terjadi.

Terlebih di pesantren, dilatih untuk bagaimana berdebat dan berdiskusi, saling bersilang pendapat, tapi dengan cara-cara yang baik nan santun. Beradu argumentasi tidak maksud untuk saling menjatuhkan, melainkan agar saling menguatkan dan memberi pemahaman atau pengetahuan baru kepada yang lain.

Mengajak orang lain untuk menuju Ilahi, para santri dituntut agar bijaksana. Yaitu tidak menyalahkan dan menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman. Menyampaikan gagasan atau pemikiran pun dilakukan dengan cara yang terpuji. Kiranya hal itu sebagai pengejawantahan dari pesan Al-Qur'an yang harus diaktualisasikan ke dalam kehidupan.

Di era yang serba canggih dan modern ini, ditambah dengan zaman digital ini, santri dituntut pula agar bisa mengarungi dan mengambil bagian dari peran serta kontribusi dalam berdakwah. Namun demikian, santri juga harus melestarikan tradisi luhur yang baik agar tak sirna termakan oleh zaman.

Dengan kata lain, santri harus bisa memadukan antara tradisi masa lalu yang baik dan menyerap segala sesuatu yang juga baik di masa sekarang, untuk bisa menyongsong masa depan yang tentu lebih baik lagi. Santri mesti mampu menyelaraskan modernitas dengan tradisi yang selama ini telah dipertahankan.

Kelemahan warga NU adalah telat menguasai teknologi, terutama di dunia maya. Tapi dalam kurun waktu satu dasawarsa, Nahdliyin sudah harus berbangga hati karena secara perlahan, para aktivis NU tak lagi hanya menyampaikan gagasan secara konvensional, yakni melalui mimbar keagamaan di masjid dan musala, tetapi juga sudah merambah ke media sosial.

Walau demikian, kita tak bisa memungkiri bahwa masih banyak kader NU yang masih gemar melakukan dakwah dengan cara konvensional. Dengan begitu, ada baiknya Nahdliyin segera berbagi tugas. Ada yang bertugas di dunia maya, ada pula yang tidak demikian.

Sebab menguasai media mainstream masih sangat sulit dilakukan. Namun, upaya mendakwahkan Islam Nusantara harus terus digenjot dan digencarkan. Alangkah baiknya juga, kader NU turun langsung ke kampung-kampung, blusukan. 

Di media elektronik seperti televisi misalnya, sudah tidak memungkinkan untuk warga NU mendominasi dakwah. Maka tugas para santri, ulama, dan kiai NU mesti bisa menjangkau akar rumput dengan membentuk majelis taklim dan pengajian rutin mingguan atau bulanan.

Pada masa sekarang, warga NU diuntungkan dengan banyaknya kader yang menjadi kepala daerah di beberapa wilayah, baik kota/kabupaten maupun tingkat provinsi. Hal itu dapat lebih memudahkan dakwah, karena bisa langsung bersentuhan dan bertatap muka dengan masyarakat.

Kalau strategi dakwah sudah dikuasai, maka bukan tidak mungkin bahwa Islam Nusantara, Islam Rahmatan lil 'Alamin, dan Islam santai akan segera merambah ke sendi-sendi kehidupan warga secara menyeluruh. 

Warga NU harus paham dan kemudian mampu merangkul masyarakat agar bisa beragama dengan santai. Beragama dengan tidak melulu amarah yang dikeluarkan, dan menganggap atau menilai orang lain yang berbeda sebagai kelompok yang keluar dari jalan Allah.

Percayalah, semua akan NU pada waktunya. Semakin NU dicibir habis-habisan, semakin Islam Nusantara disudutkan, semakin cara beragama yang santai kian diremehkan, maka NU akan semakin besar dengan sendirinya. 

Persaudaraan, persatuan, serta segala hal yang bergaris lurus dengan Allah, Rasulullah, sahabat, tabi'in, tabi'it-tabi'in, dan para ulama merupakan perjalanan panjang yang harus senantiasa diperjuangkan oleh warga dan kader NU. 

Jadi, selamat berjuang mendakwahkan Islam yang santai. Wallahua'lam.


Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar