Banner

Breaking News

Bagaimana Jika IPNU IPPNU Berpolitik Praktis?


Sumber gambar: NU Online

Oleh: Aru Elgete

Menjelang tahun 2019, atmosfer perpolitikan di Indonesia kian memanas. Masing-masing partai politik merancang strategi untuk memenangkan sebuah kontestasi kekuasaan lima tahunan. Para elitis berbondong mencari massa agar tak kehilangan suara.

Suara-suara sumbang atas nama rakyat mengemuka. Semua orang yang berlomba di dunia politik praktis, turun gunung, merangkul masyarakat. Tujuannya tentu untuk meraup keuntungan demi pencapaian menjadi penguasa. Begitu pula organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, yang juga tak luput dari pandangan mata para calon penguasa.

Nahdlatul Ulama (NU), misalnya. Beberapa kali kantor Pengurus Besar NU di Jakarta didatangi beberapa tokoh yang ingin mencoba peruntungan di tahun 2019 mendatang. Harapan besar mereka adalah supaya dapat mendulang suara dari warga NU yang jumlahnya sangat banyak, militan, dan tentu satu komando.

Tokoh-tokoh NU pun tak ketinggalan. Selain sebagai pelaku dari kegiatan politik, banyak pula yang menjadi pemain. Mulai dari mencalonkan diri menjadi anggota legislatif hingga turut serta dalam pemenangan dan memenangkan perpolitikan di skala nasional.

NU memang harus punya strategi politik, agar kekuasaan tak jatuh kepada gerombolan orang yang berpotensi menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti kelompok liberal dan radikalis. Hal tersebut harus menjadi bagian penting demi terwujudnya negeri yang Gemah Ripah Tata Tentram Kerta Raharja (baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur).

Soal dukung-mendukung, NU membebaskan Nahdliyin karena memang hak sebagai warga negara, tapi jangan pula membawa embel NU itu dalam berpolitik praktis. NU secara kelembagaan, sejak gaung kembali ke khittah 1926, sangat ditentang untuk dibawa ke ranah politik praktis.

Kader yang ingin berpartai, menjadi kader politik praktis yang militan dan aktif, dipersilakan. Nahdliyin pun berpencar di berbagai partai politik di Indonesia. 

Namun demikian, bagaimana jika kader NU ikut serta menjadi bagian dari pemain dan pelaku politik praktis? Dalam hal ini, kader (atau katakanlah) pengurus badan otonom paling dasar di NU, yakni Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU)?

Pengurus IPNU IPPNU diisi oleh remaja yang mulai berkembang. Melek politik, itu harus. Berkegiatan politik, sangat diperlukan. Namun jika berkecimpung dan bersentuhan langsung dengan politik praktis, terlebih partai politik, itu yang sangat wajar jika disebut pelanggaran dan bahkan melanggar konstitusi organisasi, yakni Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT).

Di dalam PRT IPNU, misalnya, tertulis bahwa pengurus dilarang untuk melibatkan diri (atas nama perseorangan) dan/atau organisasi (atas nama jabatan) dalam kegiatan politik praktis. Larangan tersebut tentu tak boleh dilanggar selama yang berangkutan itu masih berproses aktif sebagai pengurus.

Namun, lain halnya jika sudah menjadi alumni atau bukan lagi sebagai pengurus. Kalau pengurus berpolitik praktis, maka imbasnya adalah sanksi tegas organisasi dapat diterapkan karena melanggar hal urgen dalam peraturan yang telah disepakati (lihat Peraturan Organisasi atau PO IPNU). Pengurus IPNU IPPNU perlu sadar dan waras, bahwa masa IPNU IPPNU merupakan masa yang belum tepat untuk menceburkan diri ke dalam dunia politik praktis.

Jika ada pengurus IPNU IPPNU terjun langsung di politik praktis, menjadi juru kampanye, mengikuti deklarasi atau dukung mendukung calon, menggalang massa untuk pemenangan calon tertentu, menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg), maka ada dampak besar yang bakal terjadi.

Pertama, masyarakat akan berpersepsi bahwa IPNU IPPNU hanya sebatas wadah untuk menggalang massa dalam rangka pemenangan menuju kursi jabatan kekuasaan. Kalau demikian, maka IPNU IPPNU tak ubahnya seperti organisasi sayap partai. Sehingga, lebih parahnya, masyarakat enggan untuk menyarankan putra-putrinya yang berusia pelajar untuk aktif di banom NU tersebut. Kalau sudah demikian, bagaimana?

Kedua, pengurus IPNU IPPNU menjadi kebiasaan untuk berperan sebagai corong atau kepanjangan tangan ke masyarakat untuk memenangkan calon tertentu. Kalau pengurus IPNU IPPNU ada yang menjadi Caleg, menurut saya, itu lebih parah. Maka, kebiasaan itu akan turun-temurun dilakukan kader yang ada di bawahnya.

Sehingga keterlibatan pengurus di politik praktis akan menghapus khittah awal dari didirikannya IPNU IPPNU sebagai organisasi kepelajaran dan keilmuan, karena cenderung untuk berpolitik praktis. Padahal IPNU IPPNU merupakan wadah untuk belajar, berjuang, dan kemudian bertakwa.

IPNU IPPNU sebagai perpanjangan tangan NU, harus bisa menjadi pencerahan dan pencerdasan masyarakat. Bukan justru menjadi kader partai politik, karena IPNU IPPNU adalah kader NU yang dilahirkan dari rahim para ulama. Hal yang dikhawatirkan, pengurus yang terlibat politik praktis, dan yang mengabaikan konstitusi organisasi, akan berdampak atau terkena tulah para ulama atau pendiri yang "katanya" dihormati dan ditakzimi.

Ketiga, jika pengurus IPNU IPPNU terlibat di politik praktis, tentu terdapat keterikatan atas kesepakatan-kesepakatan dari elit partai politik. Hal yang demikian itu tentu bakal membatasi ruang gerak organisasi untuk lebih berkembang. Program dan kegiatan yang dijalankan pun akan berkutat dengan kesepakatan sebelumnya. Sehingga, berbagai gagasan yang independen cenderung tersandera dan tidak akan berkembang.

Parahnya, kalau sudah terjun di dunia politik, orientasi pemikiran dan gerak organisasi menjadi kacau balau. Semuanya akan dilihat dari sisi praktis, bahkan materialistis. Contoh, jika ada kegiatan akan berkesimpulan, "ada uangnya gak?" 

Keempat, usia pelajar itu tentu masih perlu banyak belajar. Kalau sudah menceburkan diri ke ranah politik praktis, tentu akan mengurangi rasa belajar itu. Kajian-kajian dan diskusi antarpengurus organisasi jelas akan terkikis.

Jangankan diskusi organisasi, kajian tentang sejarah ke-NU-an dan Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah pun tidak akan terjamah lagi. Semestinya, usia-usia pelajar itu dipergunakan dengan semaksimal mungkin untuk menimba berbagai bekal kehidupan sebagai senjata ampuh menjadi pemimpin di masa depan.

Materi semasa di Makesta (Masa Kesetiaan Anggota), Lakmud (Latihan Kader Muda), dan Lakut (Latihan Kader Utama) hanya serupa angin lalu yang tak perlu dimuroja'ah atau ditelaah lebih dalam untuk pegangan di kehidupan nyata, bahkan untuk berperang melawan wahabisme atau liberalisme. Bagaimana mungkin hal itu akan terpikirkan, kalau yang ada di otak hanya urusan politik semata?

Atau bahkan barangkali, pengurus IPNU IPPNU yang bersentuhan langsung dengan politik praktis itu belum tuntas menghabiskan jenjang pengkaderan? Bisa jadi, belum selesai membaca PD/PRT atau PO organisasi secara keseluruhan? Mungkin saja dibaca, tapi barangkali hanya sebatas dibaca tanpa diejawantahkan dalam gerak dan perilaku berorganisasi?

Kelima, pengurus IPNU IPPNU yang terlibat dalam aktivitas politik jelas akan mempengaruhi sikapnya. Yakni, menjadi lebih materialistis, selalu menghitung untung rugi, bahkan hilang rasa keikhlasan dan ketulusan untuk belajar, berjuang, dan bertakwa. Terutama sekali, ketulusan dalam menegakkan kalimat Allah dan syi'ar NU yang memang membutuhkan pengorbanan.

Rasa ingin terus belajar dengan hati yang ikhlas, rela berkorban, berjuang tanpa pamrih, hingga bertakwa kepada Allah, serta ghiroh yang tinggi akan pupus dan sirna. Tergantikan dengan pemikiran tentang untung dan rugi. Sebab, usia IPNU IPPNU jelas sangat masih kurang matang dalam prinsip hidup berpolitik praktis.

Kalau terjun langsung ke dalam politik praktis dianggap sebagai pembelajaran politik bagi pengurus dan kader IPNU IPPNU, maka mari kita siapkan kopi dan ruang untuk berdiskusi guna mendialogkan idealisme serta ideologi organisasi. Sebab banyak hal, sesungguhnya, yang bisa dilakukan oleh pengurus IPNU IPPNU untuk mengetahui atau belajar tentang politik.

Misalnya dengan melaksanakan penelitian tentang persepsi masyarakat mengenai Pemilihan Umum (Pemilu). Mengadakan seminar dengan narasumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bahkan, bisa saja menyebarkan agitasi atau propaganda ke masyarakat agar tidak golput dan menggunakan hak suara dengan sebaik mungkin.

Namun, bagaimana pula pembelajaran itu dilakukan kalau di hati dan pemikirannya berbentuk materialistis? Ini yang miris. Semangat belajar menjadi berkurang. Membaca pun jadi enggan apalagi mengkaji. Kader IPNU IPPNU yang membaca tulisan ini hingga akhir pun, saya yakin sangat jarang sekali. Hal itu (malas membaca), akan tercipta, kalau pengurus IPNU IPPNU ada yang telah atau akan terjun di politik praktis. Kita berharap dan berdoa, semoga tidak ada.

Belajar berpolitik, sebenarnya sudah dilakukan oleh rekan dan rekanita sejak aktif di dalam organisasi IPNU IPPNU. Misalnya, upaya mensukseskan acara dengan sumber daya dan dana yang terbatas, mengembangkan kader, dan mensiasati cara agar NU di masyarakat tidak tergerus oleh kelompok-kelompok intoleran perongrong NKRI.

Kalau sudah terbiasa berpolitik praktis, mendapatkan uang serba mudah dan instan, saya khawatir ke depan kader IPNU IPPNU akan malas berjuang kalau tidak ada uangnya. Kekhawatiran itu semoga juga menjadi sesuatu yang harus menjadi kekhawatiran bersama bagi kader IPNU IPPNU se-Indonesia.

Salah satu tantangan bagi pengurus adalah tentang cara menjaga kader agar tetap netral saat pilkada dan sejenisnya. Biarlah IPNU IPPNU belajar banyak hal, biarlah pengurus IPNU IPPNU tetap punya semangat untuk berjuang dan berkorban di bawah kibaran bendera NU, dengan pengabdian yang khidmat tanpa tedeng aling-aling.

Pertanyaannya, masihkah kita akan menghidupi organisasi jika tak ada keuntungan berupa materi? Atau, bagaimana? Ingin menghidupi partai politik kah? Menurut saya, IPNU IPPNU belum saatnya. Nanti, ada saat dimana kita akan dan harus berperan dalam konstestasi perpolitikan di Indonesia.

Berpolitik praktis hari ini, sesungguhnya hanya akan menjadikan seseorang menjadi kaum elitis yang bakal lupa terhadap masyarakat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Masih ingatkah pesan Mbah Tholhah Mansur dalam Muktamar IV IPNU di Yogyakarta tahun 1961? Bahwa cita-cita IPNU adalah membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat, bukan manusia calon kasta elit dalam masyarakat.

Kemudian, mari kita renungi untuk apa dan tujuan yang seperti apa kita ber-IPNU? Menjadi kader IPNU itu sebagai kader dan perpanjangan tangan NU, atau sebagai washilah atau perantara partai politik untuk memenangkan kursi kekuasaan lima tahunan?

Semoga, IPNU IPPNU tetap punya kerelaan berjuang untuk mengembangkan dakwah NU di permukaan masyarakat. Menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan dari berbagai kehidupan masyarakat. Sebab, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, maka tugas IPNU IPPNU adalah mengkader para pelajar agar NU tetap harum mewangi hingga ke akar rumput.

Terima kasih sudah membaca hingga tuntas. Wallahua'lam.


Penulis adalah Kader IPNU Kota Bekasi

1 komentar: