Banner

Breaking News

Tiga Amalan untuk Hadapi Tantangan Zaman


Ilustrasi. Sumber: plukme.com

Oleh: Redaksi Media NU Kota Bekasi

Di tengah kehidupan modern ini, tantangan zaman tentu sangat kompleks. Berbagai fenomena seringkali terjadi, sehingga ujian dan cobaan silih berganti. Untuk bisa tetap teguh menjalani keseharian, maka dibutuhkan sebuah benteng agar tak tergerus oleh zaman.

Setidaknya terdapat tiga amalan yang bisa menjadi pegangan kita agar mampu survive di zaman penuh ujian ini. Pertama adalah istikhoroh. Kedua istiqomah; dan ketiga adalah istighfar. Ketiganya haruslah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Istikhoroh merupakan sebuah pertimbangan untuk menentukan suatu pilihan. Orang yang memilih dengan berdasar pada pertimbangan yang matang, niscaya tidak akan salah dalam bertindak.

Pertimbangan dalam memilih tersebut hendaknya dilakukan dengan meminta pendapat kepada orang lain atau musyawarah. Hal itu agar kita senantiasa melihat sudut pandang yang lebih luas dan banyak. 

Dalam Islam pun, kita diajarkan untuk melakukan musyawarah sebagai pertimbangan untuk memilih sebuah pilihan. Sebagai makhluk sosial, musyawarah sangat penting dilakukan. Maka, istikhoroh menjadi tonggak awal agar tak terjerumus pada keburukan dan kesalahan.

Sementara istiqomah, adalah sikap konsisten dan teguh pada pendirian. Seseorang yang memiliki sikap konsisten tak akan pernah bisa digoyahkan oleh apa pun, ia berprinsip dan punya pegangan hidup.

Namun demikian, istiqomah bukan berarti kaku sehingga memaksakan kehendak diri kepada orang lain agar sependapat-sepemahaman dengannya. Istiqomah bersifat dinamis. Lentur, mencair, dan mengalir tapi tak mudah terhanyut atau dihanyutkan.

Istiqomah tidak statis. Artinya, perbuatan yang dilakukan secara terus menerus terdapat peningkatan, baik kuantitas maupun kualitas. Karenanya, istiqomah menjadi penting dalam rangka membentengi diri dari tantangan zaman yang permasalahan dan persoalan kian kompleks.

Selain itu, amalan paling terakhir yang harus dilakukan adalah istighfar. Secara bahasa, bermakna sebagai permohonan ampun atas segala dosa dan kesalahan yang selama ini diperbuat, baik disengaja maupun tidak.

Namun demikian, istighfar bisa pula kita maknai lebih luas dan bersifat ke dalam. Istighfar berarti sebuah introspeksi atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan sehingga menimbulkan semangat untuk berbuat lebih baik. 

Istighfar berarti menginsyafi diri, mengoreksi, dan berkontemplasi, serta merenung ihwal apa dan bagaimana kesalahan di masa lalu agar menjadi lecutan kebaikan di masa depan.

Dengan pemaknaan itu, orang yang senantiasa melakukan istighfar, tidaklah merasa diri paling benar sehingga menganggap dan menuding kesalahan kepada orang lain yang berbeda. Istighfar membawa diri pada kemuliaan, dan menjadikan kita mampu bersikap rendah hati (tawadhu). 

Istghfar tidak mengajarkan kita untuk berlaku sombong kepada yang lain, sehingga istighfar mampu membawa kita untuk menyongsong hari cerah di depan, walau sesekali menengok ke belakang sebagai penyempurna langkah dan derap kaki untuk melompat lebih jauh. 

Dengan ketiga hal tersebut, kita tentu mampu untuk senantiasa menghadapi peradaban yang selalu berkembang, dan membentengi diri dari zaman yang kian maju. Sebuab zaman yang sarat dengan tantangan, ujian, dan cobaan.

Wallahu A'lam...

Tulisan diatas hasil saduran dari khutbah Jum'at di Masjid Jami' Al-Ikhlas, Kavling Perwirasari, Kelurahan Perwira, Kecamatan Bekasi Utara.

Tidak ada komentar