Banner

Breaking News

Menata Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Lokal





Oleh: Ahmad Mustofa Kamal


Setelah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung dan serentak pada 2015 dan 2017, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menggelar Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018 di 171 daerah. Sejak Desember 2015, Indonesia memasuki format baru berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada di tingkat lokal.

Kepala daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kini dipilih langsung oleh rakyat dan diselenggarakan secara serentak.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung dan serentak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Pilihan terhadap sistem Pilkada langsung dan serentak di berbagai daerah merupakan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan DPRD. Digunakannya sistem pemilihan langsung dan serenrak menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi di tingkat lokal. Selain itu jjga mempertahankan eksistensi kedaulatan rakyat.

Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pasal 1 ayat 1 bahwa, "Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis".

Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam meligitimasi kepala daerah melalui pilihannya terbuka lebar sesuai dengan pilihannya. Menurut Ginsberg dalam Inu Kencana (2010: 343) mengemukakan bahwa, "Fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan politik massa dari yang bersifat sporadic dan dapat membahayakan, menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional".

Maka dari itu, partisipasi masyarakat sangat penting peranannya dalam suatu negara yang menggunakan sistem demokrasi, seperti di Negara Republik Indonesia.

Istilah kedaulatan rakyat tidak sama persis dengan demokrasi yang berlaku di Barat, yang hanya bermakna kedaulatan politik saja. Akan tetapi konsep kedaulatan rakyat yang dikembangkan oleh Mohammad Hatta adalah demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. 

Gagasan itu muncul dan berkembang dalam suasana kolonialisme, anti-individualisme, anti-liberalisme, dan anti-kapitalisme, tetapi tetap berempati pada konsep demokrasi. Kritik dan kecaman atas faham-faham tersebut sangar menonjol dalam upaya mengusir penjajahan imperialis dan kolonialis (Assidiqy, 1994: 28-29).

Hal tersebut dapat dipahami karena istilah rakyat (ra'yat) yang berasal dari bahasa Arab: Ra'iyyatun atau ra'aaya yang berkembang menjadi arra'iyyatun yang berarti 'ternak yang merumput' atau 'gembalan'. Justru itu, istilah rakyat (Indonesia) yang dipakai para tokoh di Indonesia sejak masa perjuangan hingga kini dapat diartikan sebagai warga yang harus diurus, dilindungi, diberi sandang, pangan, dan papan secara adil oleh negara.

Jika kata rakyat digandeng dengan kata kedaulatan menjadi 'kedaulatan rakyat', maka rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi sekaligus memegang kedaulatan di suatu negara. Kemudian pengertian itu dapat berarti bahwa negara yang memiliki kekuasaan tertinggi harus mengurus, melindungi, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan berkelanjutan.

Kemudian, istilah kedaulatan rakyat yang dibakukan dalam konstitusi, selain berarti demokrasi politik juga sekaligus berarti demokrasi ekonomi. Itulah sebabnya Indonesia menjadi 'negara kesejahteraan' yang berbeda dengan negara dalam sistem demokrasi liberal dan negara kekuasaan.

Sebagaimana ajaran sosialisme yang berkembang sejak awal abad ke-20. Menurut Hatta, sosialisme merupakan salah satu sumber dari tiga sumber lainnya gagasan tentang 'kedaulatan rakyat' yang biasa juga disebut demokrasi sosial. Sebab tujuan utamanya adalah membela perikemanusiaan.

Sumber lainnya adalah ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam bermasyarakat, serta persaudaraan antarmanusia (ukhuwah basyariyah) sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifar Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang (Ar-Rahman Ar-Rahim).

Selain itu, kedaulayan rakyat juga bersumber dari pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berwatak kolektivisme (guyub, rukun, gotong-royong).

Jelas, bahwa konsep kedaulatan rakyat khas Indonesia sebagai temuan para local genius, yang mampu memadukan tiga nilai sekaligus. Yakni, nilai asli Indonesia, Islam, dan nilai Barat. Artinya, memadukan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru (Al-muhafadzotu 'ala qomidissholih wal akhdzu bil jadidil ashlah).

Maka, dalam naskah UUD 1945 sama sekali tidak terdapat kata 'demokrasi'. Justru 'kerakyatan' dan 'kedaulatan rakyat' yang termaktub di dalamnya.

Dewasa ini, upaya merawat eksistensi kedaulatan rakyat atau demokrasi khas Indonesia terus dilakukan hingga ke wilayab lokal. Pergantian kepemimpinan di setiap daerah terus bergulir pada setiap periode, untuk penataan demokrasi politik lokal yang membawa harapan untuk terwujudnya demokrasi ekonomi lokal, melalui kekuasaan yang diraih secara konstitusional.

Hajatan pemilihan kepala daerah tahun ini, yang akan digelar di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten dilakukan pada 27 Juni 2018, secara penanggalan hijriyyah, tepat 13 hari usai umat Islam merayakan Hari Raya Idulfitri. Bagi seluruh umat Islam, Idulfitri diyakini sebagai hari pensucian diri dan kemenangan.

Semoga ada korelasi antara kesucian dan kemenangan itu dengan para kepala daerah terpilih untuk membawa kesucian dan kemenangan sebagai kemasan awal untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain itu, diharapkan pula untuk menuntaskan permasalahan yang ada di tengah kehidupan masyarakat.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka." (Q.S. 13:11)



*Penulis adalah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Bekasi Utara, Divisi Partisipasi Masyarakat

Tidak ada komentar