Banner

Breaking News

Lalu, ke mana Ramadhan Pergi?



Ilustrasi. Sumber gambar: salamdakwah.com


Oleh: Redaksi Media NU Kota Bekasi

Puasa Ramadhan sudah usai. Kini, segala hal kebaikan mulai dan tengah dipertaruhkan. Kualitas ibadah pada sebulan penuh, akan dipertontonkan di hari-hari ke depan.


Sudah tak ada lagi santunan anak yatim, yang digelar tak ubahnya hanya sebatas seremonial dan formalitas, bahkan tidak menyentuh ke akar substansi sama sekali. Tayangan islami, pesantren kilat, kultum Ramadhan, tabligh akbar di televisi dan alun-alun kota, hingga iklan sirup di siang hari sudah habis kontraknya.


Masjid dan musala kembali ditinggalkan. Kotak amal tak lagi dihiraukan keberadaannya, kecuali saban jum'at di masjid-masjid. Al-Qur'an, lagi-lagi menjadi pajangan dan penghuni paling atas di lemari atau rak buku.


Diskotik, hotel esek-esek, warung remang-remang, pekerja seks, pria hidung belang, dan segala macam kemaksiatan bersuka-cita menyambut kepergian Ramadhan. Para penceramah dan ustadz-ustadz kampung, kehilangan 'honorarium' berupa uang beserta kain sarung.


Barangkali, hal-hal itulah yang menjadi kesedihan saban kepergian Ramadhan tiba. Parahnya, sedih pun hanya di mulut dan kata-kata, sementara perilaku sama sekali tidak menggambarkan kesedihan. 


Pada kenyataannya, orang-orang berbahagia menyambut datangnya Idulfitri. Bukan karena mengembalikan diri pada kesucian. Bukan pula karena puasa dan tarawih yang tak pernah absen sekali pun. Bukan juga karena khatam Al-Qur'an lebih dari tiga kali.


Akan tetapi karena lebaran (Hari Raya Idulfitri), menawarkan segala macam kebebasan. Sebab, selepas Ramadhan, segala hal yang semula ditutup-tutupi, kini terbuka lagi secara gamblang. Lebaran menawarkan kenikmatan yang tidak ada pada Ramadhan.


Beberapa hari sebelum Ramadhan berakhir, orang-orang sibuk menyiapkan segala macam kebutuhan untuk pulang ke kampung halaman. Menemui orang tua, handai taulan, dan kerabat semasa kecil. Bersilaturahim serta menjalin kembali persaudaraan yang telah renggang selama setahun.


Beberapa hari sebelum lebaran, orang-orang yang memiliki kedudukan di perusahaan dan organisasi, melancarkan aksi pamer jabatan. Mereka membuat desain pamflet dengan diterangkan nama dan jabatannya, sembari dibubuhi kata-kata indah nan manis.


Usai menemui sanak saudara dan kerabat (silaturahim), linimasa media sosial dipenuhi sukacita yang (barangkali) berlebihan. Sebab terlalu bahagia, sebagian besar orang (termasuk saya), tidak lupa untuk mengunggah foto ke beranda akun pribadi.


Narsisme terpampang jelas. Bahkan, kuburan pun diajak untuk berswafoto. Semua sibuk merunduk. Mengetik keterangan (caption) foto semenarik mungkin agar disukai dan dikomentari banyak orang. 


Lalu, ke mana Ramadhan pergi?


Setelah ini, linimasa media sosial akan dibanjiri oleh foto-foto liburan di tempat-tempat wisata. Entah dimaksudkan sebagai stimulus agar orang lain berwisata juga, sebagai pemberitahuan bahwa dirinya adalah anak dari keluarga yang kaya-raya, atau sebagai promosi destinasi wisata.


Entahlah. Segala hal tumpah ruah di media sosial.  


Barangkali ada beberapa pesan Ramadhan yang kurang mematri jiwa. Bahwa hidup harus terus melihat ke bawah. Merasakan lapar sebagaimana saudara kita yang susah-payah mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya di atas rumah gerobak, atau di teras-teras ruko pinggir jalan.


Barangkali ada yang lupa, kalau ternyata ibadah ritual adalah tonggak dari berdirinya bangunan sosial. Ramadhan juga berpesan agar hidup tak korup. Berlaku jujur, sederhana, amanah, dan tidak riya' atau menampilkan kepongahan.


Sebab, apa yang menjadikan puasa sebagai sesuatu yang pantas disombongkan? Toh, puasa adalah ibadah privasi antara Allah dan seorang hamba. Nilai pahala yang diberikan, diterima atau tidak ibadah selama Ramadhan, dan kualitas amal saleh hanya Allah yang tahu.


Barangkali juga ada yang tertinggal dari Ramadhan, yakni soal menyembunyikan keburukan karena ada rasa malu di dalam diri. Bahasa positifnya, bukan munafik, tapi menutupi aib.


Kini, semua terpampang jelas dan kembali mengemuka. Bahkan, lebih dekat dari mata dan telinga. Keburukan atau kemaksiatan kini telah terdigitalisasi. Sejak bangun tidur hingga tertidur lagi, semuanya hadir dalam genggaman.


Rupanya, lebaran saat ini lebih meriah di media sosial daripada di kampung halaman. Toh, orang-orang yang mudik ke tanah kelahiran pun sebenarnya tengah mudik pula ke akun pribadi media sosial masing-masing.


Lalu, pesan Ramadhan apa yang akan kita bawa untuk bekal menuju perjalanan yang jauhnya hingga menempuh kurang lebih 330 hari?


Wallahu A'lam...

Tidak ada komentar