Banner

Breaking News

Hardiknas Usai, Sudahkah Kita Terdidik dan Mendidik?




Oleh: Aru Elgete 

Peringatan dan perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2018, telah usai. Selama sehari, 24 jam nonstop, warganet mencari dan memilah foto yang pas untuk diunggah ke media sosial (medsos). Tak lupa pula dengan bumbu tulisan keterangan (caption) yang menarik.

Upacara, sebagai peringatan terhadap jasa Ki Hajar Dewantara diselenggarakan dimana-mana. Di sekolah-sekolah, di alun-alun kota, di kantor-kantor pemerintahan, dan bahkan tempat bersejarah. Kemudian juga tidak ketinggalan untuk tetap berfoto; bersiap untuk mengunggah kegiatan setahun sekali itu ke medsos.

Beberapa kutipan tokoh bersejarah yang konsen terhadap pendidikan pun dicari-cari. Lalu kutipan itu disandingkan dengan foto figur sentral organisasi, dan gambarnya kembali menyeruak dinding dunia maya. Ucapan, ungkapan, serta kutipan-kutipan menarik kini sangat digemari.

Kalau begitu, saya juga turut mengucapkan. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani (Di depan menjadi teladan, di tengah menjadi pemrakarsa, di belakang menjadi motivator).

Rentetan kalimat itu seringkali didengungkan, ditulis berulang kali, dan diperdengarkan oleh inspektur upacara peringatan saban tahun. Pertanyaannya, sudahkah kita mengamalkan atau setidaknya dijadikan olah pikir dan rasa sehingga mampu menjadi bagian dari gerak keseharian? Singkatnya, sudahkah kita mendidik dan terdidik?

Didik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna memelihara atau memberi latihan berupa ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidik, mendidik, terdidik, dan dididik merupakan padanan kata yang berlainan. Namun, semuanya menjadi kesatuan makna.

Untaian kalimat milik Bapak Pendidikan Nasional itu tak sempit makna. Ia relevan sepanjang zaman. Tidak sama sekali hanya berhenti pemaknaannya pada teks yang kaku dan baku. Ketiganya adalah rentetan proses yang mesti dilewati, baik oleh pendidik atau pun yang akan terdidik.

Tingkatan pertama, (ketika berada) di depan menjadi teladan. Persis seperti yang diungkapkan oleh Abraham Maslow bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah aktualisasi atau eksistensi diri. Maka, menjadi yang terdepan harus dilakukan, selain sebagai gengsi juga sebagai pembuktian dari keilmuan yang dimiliki.

Kedua, (ketika berada) di tengah menjadi pemrakarsa. Menjadi seorang pelopor (kata lain dari prakasa), harus sudah memiliki keilmuan yang matang. Ia harus mampu melakukan inisiatif, menjadi penyemangat, dan melakukan penggerak dari ketidakberdayaan. Lebih-lebih, berada di tengah sebagai penyangga berbagai macam kelemahan.

Ketiga, (ketika berada) di belakang menjadi motivator. Seorang yang berada di belakang ini telah mencapai puncak keilmuan. Ia tak lagi butuh pengakuan dari orang lain, tak perlu lagi bersusah-payah membangun citra dengan membayar wartawan media cetak atau elektronik untuk melakukan pencitraan. Orang yang berada di belakang, pasti paham bahwa dirinya harus segera melakukan regenerasi untuk memperpanjang usia keilmuannya. 

Terlepas dari pemaknaan sederhana saya, yang lebih terpenting adalah soal bagaimana pendidikan hari ini yang sarat dengan berbagai hambatan dan rintangan. Pendidikan, sekali lagi, bicara soal pendidikan bukan hanya terletak pada sebuah lembaga atau instansi pendidikan. Segala macam aspek kehidupan, beragam fenomena dan peristiwa yang terjadi, kini marilah kita anggap sebagai bagian dari pendidikan. 

Dalam sebuah karya, Grup Band Marjinal pernah membuat syair yang cukup menyentuh hati; 'alam raya sekolahku, semua orang itu guru'. Bagi saya, itulah pendidikan yang sejati. Setiap orang dapat terasuh, terpelihara, terasup, dan terlatih oleh keadaan alam atau dari keniscayaan Tuhan.

Kembali ke Hari Pendidikan Nasional.

Perayaan dan peringatannya tak terlalu ramai. Berbeda halnya pada sehari sebelum, yakni May Day atau Hari Buruh Internasional. Pekerja menjadi sangat penting bagi kehidupan dan keberlangsungan sebuah negara.

Kesejahteraannya juga mesti diperhatikan. Upah layak harus diberikan sebagai hadiah dari jerih payah yang dilakukan untuk menghidupi keluarga di rumah; seperti membayar cicilan rumah, kredit kendaraan, listrik, kontrakan, air, biaya kecantikan, dan bahkan biaya untuk berlibur pun wajib menjadi sorotan pihak terkait.

Maka tak heran kalau setiap tahun, hampir seluruh buruh di Indonesia tumpah ruah memadati jalan raya dan trotoar. Meneriakkan berbagai tuntutan dan berbagai keinginan atau urgensi kebutuhannya. Semua ingin sejahtera, tentu.

Lalu, bagaimana dengan pendidikan kita? 

Sepanjang perenungan dan sedangkal pemikiran saya, banyaknya buruh yang memperingati May Day sementara Hardiknas justru sepi, itu menandakan bahwa minat sebagian besar orang Indonesia terhadap pendidikan sangat rendah dan minim. Parahnya lagi, tak jarang ada pihak yang menjadikan (lembaga) pendidikan sebagai pasar bebas untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. 

Tak hanya lembaga pendidikan. Media massa pun kini berubah jadi ajang bisnis besar-besaran. Kabar, berita, dan tayangan yang buruk dianggap bisa menaikkan rating media.

Lucunya, menurut Sujiwo Tejo, kini di televisi tayangan seks sudah ditiadakan, tetapi kenapa tayangan perselisihan, persekusi, intimidasi, peperangan, dan pembunuhan kerap muncul di layar kaca? Hal itu jelas tidak mendidik. Padahal salah satu fungsi media massa adalah untuk memberikan pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat. Sayang, adegan politik praktis sudah membunuhnya jauh-jauh hari.

Ibu-ibu yang memberikan anaknya gadget dan kemudian mengunduh permainan peperangan sehingga berdampak banyaknya kasus perkelahian hingga menimbulkan kematian di beberapa tempat; hanya karena permainan di layar gadget. Loh, kenapa pula tayangan Smack Down di televisi dan permainan Smack Down di PlayStation ditiadakan sejak saya beranjak remaja (usia sekolah menengah pertama)?

Di sekolah ada banyak guru yang diperlakukan kasar, ada pula murid yang diajak berbuat amoral, juga tak jarang orangtua siswa yang marah saat anaknya nangis karena dicubit sedikit? Lantas, di mana tuladha itu? Maka, siapa yang pantas menjadi teladan di zaman carut marut ini?

Politik yang mulanya adalah bagian dari pendidikan untuk mampu memiliki pengaruh dalam melakukan perubahan, kini berubah bentuk menjadi alat untuk mencapai kekuasaan. Pendidikan politik kekinian tak lebih hanya sekadar untuk menjatuhkan lawan dan mengatur strategi untuk menang. Maka, terjadilah perang tagar di Car Free Day (CFD), Jakarta, beberapa hari yang lalu itu.

Di mana si Mangun Karsa itu? Kini, siapa yang mampu menjadi pelopor perubahan tanpa iming-iming jabatan, harta, kekayaan, derajat, dan kekuasaan? Tentu jawabannya tak ada. Karenanya sangat tepat sekali, Cendekiawan Muda Yudi Latif mencetak sebuah karya buku berjudul, 'Mata Air Keteladanan'. Sebab, Indonesia sedang dan sudah krisis keteladanan. Hampir tidak ada sosok yang layak dijadikan teladan di Bumi Pertiwi ini.

Dampak terburuknya adalah, kita bakal kehilangan semangat. Tidak bakal tersisa sosok yang mampu memberi semangat, memotivasi, dan mendobrak ketakutan di belakang. Sebab semua orang sudah saling berani. 

Apabila kita abai terhadap laku pendidikan, dalam bentuk apa pun, maka benarlah yang dikatakan Prabowo Subianto dalam pidatonya beberapa waktu lalu bahwa Indonesia, 12 tahun lagi, akan bubar. Na'udzbillah...

Kita berdoa semoga Indonesia aman, tenteram, sejahtera, dan maju karena pendidikan. Sebab kata Bapak Pendiri Republik Indonesia Tan Malaka bahwa tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. 

Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan membawa seseorang agar memiliki ketajaman dalam berpikir secara intelektual. Sehingga, ia memiliki kemauan yang kuat dan tekad yang bulat untuk menjadi bagian dari perubahan. 

Dan yang paling terpenting adalah, pendidikan akan membuat seseorang berperasaan halus, tidak mudah marah, meledak-ledak, emosi, dan apalagi mengumbar kebencian. Maka, kita bisa menakar kadar pendidikan seseorang dari bagaimana seseorang bersikap kepada orang lain. Sekali lagi, saya tekankan, bahwa pendidikan bukan hanya sebatas pada ruang-ruang kelas yang bersekat.

Jadi, sudahkah kita terdidik dan mendidik? Bagaimana?



*Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam "45" Bekasi, Pengelola Website PCNU Kota Bekasi, Wakil Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi, dan Kontributor NU Online. 

Tidak ada komentar