Banner

Breaking News

Kemenangan NU di Pulau Jawa dan Tulah untuk PKS


Aru Elgete (kiri, sarungan) bersama Ketua IPNU Jakarta Pusat, Muhammad Ammar

Oleh: Aru Elgete

Pertandingan yang melelahkan, usai juga. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di 171 daerah di Indonesia telah menentukan siapa pemenangnya. Meski baru ditentukan melalui hasil hitung cepat dari sekian banyak lembaga survey, tapi setidaknya hasil itu menjadi gambaran secara umum.

Berbagai fenomena, adegan, dan peristiwa menuju 27 Juni 2018 telah tuntas. Berbagai cara dilakukan oleh para elit politik. Mesin partai bekerja dengan upaya sendiri-sendiri. Menjagokan tokoh publik karena popularitas, atau karena kader partai, sudah dilakukannya.

Sebagai daerah yang cenderung dekat dengan Ibukota DKI Jakarta, tiga provinsi di Pulau Jawa tentu menjadi sorotan utama publik; yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ketiga wilayah itu, menjadi ajang adu gengsi bagi para petinggi, elit, dan tokoh partai politik.

Sebelum pembahasan lebih jauh, mari kita memutar ingatan ke belakang. Kita pasti masih sangat ingat pernyataan tokoh nasional sekaliber Amien Rais, yang mendikotomi Partai Setan dan Partai Allah. Entah apa yang dipikirkannya, ia menafsirkan sendiri kalam ilahi dalam QS Al-Mujadalah ayat 19.

إستحوذ عليهم الشيطان فأنساهم ذكراللهۚ  أولئك حزب الشيطانۚ  ألا إن حزب الشيطان هم الخاسرون.

Dalam At-Tafsirul Wajiz, Syekh Wahbah Az-Zuhaily menerangkan bahwa konteks ayat ini membicarakan posisi orang munafik di zaman nabi SAW, yang mengatakan keislaman mereka secara lahiriah, tetapi menyembunyikan semua ajaran Islam.

Sekelompok orang munafik ini suka membawa perbincangan umat Islam ke forum komunitas sekelompok Yahudi Madinah. Akan tetapi, setelah ketahuan telah membocorkan perbincangan, mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak melakukannya.

Maka dalam Tafsirul Qasimi atau Mahasinut Ta'wil, yang disebut partai setan atau kelompok setan adalah sekelompok orang yang biasa berdusta (dalam konteks saat ini adalah penyebar hoaks), dan berbuat kerusakan meski harus mengatasnamakan agama. (Sumber: NU Online)

Partai setan merujuk pada sekelompok orang yang diperbudak setan dengan kenikmatan duniawi dan diperhamba oleh hawa nafsu untuk keselamatan jiwa dan harta. 

Walhasil, kita mendapat gambaran bahwa partai setan dalam Al-Quran merujuk pada sekelompok orang yang memanipulasi agama (termasuk dengan membawa nama Allah beserta segala macam simbolnya) untuk kepentingan kelompoknya.

Partai setan adalah mereka yang menjadikan dusta dan kerusakan sebagai keseharian, sehingga menimbulkan mafsadat bagi publik secara luas. Meski demikian, alangkah baiknya kita hindari penyematan atau dikotomi Partai Setan dan Partai Allah.

Karena bisa jadi, sifat-sifat partai setan itu terdapat di dalam diri kita atau di dalam kelompok kita sendiri. Sebagaimana yang diterangkan Imam Al-Ghazali dalam karya masterpiece-nya, yakni kitab Ihya' Ulumiddin. Bahwa di dalam hati manusia terdapat pertempuran dua tentara, yakni tentara malaikat dan tentara iblis.

Keduanya berusaha saling mengalahkan, dengan mencari celah pada kelengahan masing-masing. Kalau tentara malaikat lengah, tentara iblis akan segera menguasai hati manusia. Begitu pula sebaliknya. 

Sementara godaan iblis paling dahsyat, disebut dengan talbis. Yakni sebuah godaan kepada manusia yang telah mencapai puncak keberagamaan atau spirit beragama. Iblis akan segera menjelma menjadi perilaku manusia dalam bentuk kesombongan dan sikap pongah.

Kembali ke Amien Rais. Dirinya mendeklarasikan bahwa Partai Allah hanya ada tiga, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dengan begitu, berarti di luar dari ketiganya disebut sebagai Partai Setan.

Pemikiran semacam itu tentu menyesatkan. Sebab akan berdampak buruk pada pemaknaan masyarakat di akar rumput. Bagaimana jika, Partai Allah berhasil dikalahkan oleh Partai Setan? Pertanyaan tersebut jelas sangat mustahil. Bagaimana mungkin Allah bisa kalah?

Kemenangan Kaum Santri di Pulau Jawa

Di Pulau Jawa, hal tersebut terjadi. Dari ketiga provinsi di sana, pemenang hasil hitung cepat adalah pasangan yang tidak didukung oleh Partai Allah versi Amien Rais. Menariknya, ketiga calon pemimpin di tiga provinsi Pulau Jawa itu adalah orang-orang yang dekat dengan para ulama dan terutama dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Di Jawa Barat, ada Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Keduanya merupakan cucu dari Mama Ajengan (ulama besar) di tanah pasundan. Siapa yang tak kenal dengan kakeknya Ridwan Kamil? Yaitu KH Muhyidin, pendiri pesantren Pagelaran di delapan daerah.

Ulama yang akrab dengan panggilan Mama Pagelaran itu merupakan Panglima Hizbullah di Purwakarta dan Subang, yang bergerilya dengan para santri saat melawan Belanda. 

Sementara pasangannya, Uu Ruzhanul Ulum merupakan cucu dari KH Choer Affandi, pendiri Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Uu pun adalah Pengurus NU di sana.

Tirto pernah merilis artikel tentang Kiai Choer dengan julukan Santri Kelana di Antara Perang dan Damai.

Di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai petahana berpasangan dengan Gus Taj Yasin. Yaitu putra dari Mbah KH Maimoen Zubair, seorang ulama kharismatik yang menyejukkan dari Sarang, Rembang.

Pertarungan sengit antar warga NU, terjadi di Jawa Timur. Sebab kedua pasangan calon di sana adalah kader terbaik NU. Hasilnya Nur Khofifah Indar Parawansa berhasil mengalahkan Gus Ipul.

Mantan Menteri Sosial di Kabinet Kerja Jokowi-JK itu sudah empat kali periode memimpin organisasi kaum ibu di NU, yakni Muslimat. Pengetahuan keagamaan dan kealimannya tak lagi diragukan. Kitab kuning sudah pasti bisa dengan sangat baik ia baca.  

Pasangannya adalah Emil Elestianto Dardak. Ia merupakan cucu dari H Muhammad Dardak, salah seorang kiai NU di Trenggalek. Suami Arumi Bachsin itu juga pernah menjadi Ketua Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di Jepang.

Tulah NU untuk PKS

NU sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia jelas-jelas memiliki andil besar bagi Bumi Pertiwi. Perjuangan pra-kemerdekaan hingga pasca-kemerdekan, bahkan era reformasi tetap menjadi eksistensi dalam merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bagi NU, urusan politik adalah hal yang sangat kecil. Sebab NU punya kepentingan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa karena merasa sebagian besar aset bangsa adalah kepunyaan NU. Nahdliyin di seluruh Indonesia, memahami itu.

Warga NU dikenal santai, memiliki jiwa toleransi yang tinggi, dan melihat sesuatu dengan sudut pandang yang sangat luas. Selain itu juga dikenal pemaaf, tidak meledak-ledak, dan yang paling penting adalah patuh terhadap petuah atau dawuh para kiai. Sebab ulama merupakan pewaris dan kepanjangan tangan dari nabi.

Baik yang ada di struktur maupun kultur, warga NU pasti marah kalau tokoh panutan yang diseganinya dihina dan dicaci-maki orang lain. Siapa pun akan dilawan, tentu dengan perlawanan yang elegan; tidak serampangan dan apalagi kesetanan.

Kedatangan Katib 'Aam Pengurus Besar (PB) NU KH Yahya Cholil Staquf ke Israel, pada 10 Juni 2018, dalam rangka merekonsiliasi konflik dan membawa pesan perdamaian, dicibir habis-habisan oleh mereka yang mengaku paling Islam dan dekat dengan Palestina. Mereka-lah yang kebanyakan itu adalah kader dan simpatisan PKS.

Kiai Yahya, disebut oleh mereka sebagai orang yang tak berperikemanusiaan, agen Yahudi, dan seorang munafik karena melakukan diplomasi dengan Israel.

Warga NU pun marah. Sebagian besar dari Nahdliyin se-Indonesia seringkali menyampaikan bahwa suatu saat tulah (kutukan) dari ulama NU akan segera tiba untuk PKS dan antek-anteknya. Kini, di Pulau Jawa, kutukan itu telah mendarat dengan sangat nyata.

Saat PKS diserang, petinggi PKS, Hidayat Nur Wahid juga berkali-kali menyerang NU. Salah satunya, cuitan di akun twitter milik pribadinya belum lama ini, yang mengatakan bahwa kader (pengurus) PKS Abdul Hadi Wijaya adalah keturunan kelima dari Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari.

Sejurus kemudian, KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) menyampaikan konfirmasi agar tak ada politisasi soal Pesantren Tebu Ireng, Jombang. 

Barangkali, ada yang tak diketahui oleh PKS bahwa bagi NU, politik bukan tujuan tapi kendaraan. Warga NU berhak memilih kendaraan (partai politik) sesuai keinginan hati. Melalui partai-lah justru aspirasi NU akan tersampaikan.

Di PKS, ada banyak kader NU. Itu sama sekali tidak menjadi masalah. Karena yang akan menjadi persoalan serius adalah ketika tokoh atau panutannya dihina habis-habisan oleh orang lain. Hati-hati kutukan, kualat, dan bencana akan menghampiri apabila ulama-ulama NU diremehkan dan dikecilkan.

Sebentar lagi, kaum santri dari kalangan NU akan menguasai Pulau Jawa. Sedangkan PKS terancam mengalami kesulitan mendulang suara di tiga provinsi tersebut.

Banyak pakar yang mengatakan bahwa hasil di Pilkada Serentak tahun ini sedikit-banyak menjadi tolok ukur bagi Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan.

Maka itu, jangan macam-macam dengan NU. Karena semua akan NU pada waktunya.

Wallahu A'lam.


Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

1 komentar:

  1. سبحان الله بما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن...

    BalasHapus