Banner

Breaking News

Pesan Ramadhan dan Imbauan Politik Ketua PCNU Kota Bekasi


Aru Elgete bersama KH Zamakhsyari Abdul Majid usai wawancara

Pada kesempatan Ramadhan, Media PCNU Kota Bekasi berkesempatan melakukan sowan kepada Ketua PCNU Kota Bekasi KH Zamakhsyari Abdul Majid, di Kantor MUI Kota Bekasi, Komplek Islamic Center KH Noer Ali, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Bekasi Selatan, Kamis (17/5).

Kiai Zamakhsyari mengungkapkan beberapa poin penting, mulai dari pesan atau seruan Ramadhan kepada warga NU sekaligus pesan politik yang harus diaplikasikan Nahdliyin dalam menghadapi tahun politik.

Berikut ini wawancara yang berhasil dilakukan oleh Aru Elgete dengan seorang kiai yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi itu.

Bagaimana seruan atau pesan Ramadhan untuk Nahdliyin?

Pertama, kepada seluruh warga NU, baik yang kultur maupun struktur, dalam rangka Ramadhan harus mengisi kegiatan ibadah siang dan malam hari.

Jaga persatuan dan kesatuan, menjaga kondusivitas di mana pun berada dengan saling menghargai dan menghormati. Baik menghormati orang yang berpuasa, maupun  orang yang tidak berpuasa.

Orang yang tidak berpuasa maksudnya siapa kiai?

Artinya hargai dia orang gak puasa, orang non-Islam. Jadi kalau ada orang bukan Muslim, biarkan mereka tidak berpuasa. Kristen, Hindu, Budha, Katholik, Konghucu mau gak puasa ya harus kita akui bahwa mereka memang tidak ada kewajiban berpuasa di Ramadhan. Kita harus hormati mereka.

Sebelum Ramadhan kemarin ada beberapa ledakan di berbagai tempat. Bagaimana tanggapan?

Kemudian, harus menanamkan kewaspadaan. Kita harus selalu waspada, baik saat ada kejadian maupun tidak ada kejadian. Sebab kehidupan di bumi ini selalu berubah. Jangan mengira aman-aman saja, karena kejadian atau peristiwa tidak bisa diduga.

Oleh karena itu, hidup ini harus waspada. Apalagi zaman sekarang. Fenomena kehidupan dunia ini sudah sedemikian rupa, heterogenitas manusia berbagai macam budaya, adat istiadat, maka berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat dan pandangan.

Maka, kita sebagai manusia harus kembali kepada iman. Dengan berpuasa, iman semakin kuat. Insyaallah kita tergolong sebagai mukmin.

Apa makna Mukmin menurut kiai?

Mukmin itu artinya bukan hanya soal iman kepada Allah, tetapi juga menjaga keamanan. Jadi, mukmin adalah orang-orang yang beriman kepada Allah yang memiliki kewajiban menjaga keamanan. Inilah perilaku orang-orang NU.

Karena NU adalah pengikut setia para ulama. Sementara ulama adalah orang-orang yang harus menjadi pemersatu umat. Ulama adalah orang yang mengeluarkan kata-kata sejuk, kata-kata yang damai, kata-kata semangat untuk selalu mencintai sesama.

Bagaimana ketika ada ulama yang provokatif?

Kata Imam Ghazali, ulama provokator itu disebut sebagai ulama su’, yaitu ulama yang buruk dan rusak.

Apa sebenarnya tugas yang harus dilakukan seorang ulama?

Tugas ulama itu Al-‘amalu bil ‘ilmi, yaitu orang yang mengamalkan ilmunya. Jadi ulama yang seperti ini bukan ulama-ulama provokator. Bukan juga ulama yang bikin orang saling membenci dan pecah-belah karena ucapannya yang kasar atau kotor.

Kemudian, al-waqifu ‘ala sya’ni. Artinya ulama yang berhenti pada posisi atau berada di posisi yang benar. Jadi, istiqomah. Berjalan di posisi yang tidak ke kiri dan ke kanan. Untuk membenarkan yang salah, dan menguatkan kebenaran. Ulama harus punya prinsip. Itulah istiqomah.

Kemudian, basyirun bi ahli zamani. Orang yang berusaha melihat situasi dan kondisi dimana ia berada. Maka seorang ulama itu harus memiliki fiqh ad-da’wah. Di dalam rangka mengajak orang untuk berbuat kebaikan itu harus punya pemahaman (fiqh). Sehingga kita senantiasa mengajak pada kebenaran.

Lalu bagaimana dengan para ulama yang terlibat dalam kampanye politik praktis?

Nah, maka kita berbicara soal fiqh ad-di’ayah. Yaitu pemahaman tentang kampanye, atau bisa juga disebut dengan fiqh (pengetahuan) propaganda. Orang kalau kampanye, berusaha melakukan propaganda agar yang didukungnya itu menang dan menduduki kekuasaan. Nah ini tidak kita inginkan.

Kalau pun ingin berkampanye, ya lakukan dengan cara-cara baik. Tidak dengan cara menyalahkan, membenci, menyudutkan, bahkan memfitnah orang lain.

Kiai, bagaimana Politik NU itu sendiri?

NU itu bukan partai politik. NU itu organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam’iyah diniyah 
ijtima’iyah). Namun demikian, bukan berarti NU anti terhadap politik. Justru warga NU harus mengerti dan paham tentang politik. Yaitu politik keumatan, politik kemasyarakatan.

Artinya bagaimana NU membawa umat, bagaimana mengarahkan umat, bagaimana peduli kepada masyarakat dengan memberikan ilmu melalui pendidikan-pendidikan formal maupun nonformal. Itulah politik NU. Politik yang berbicara tentang kebangsaan demi kepentingan keutuhan negara.

Tetapi bukan politik praktis atau politik kekuasaan?

Nah, politik NU bukan seperti itu. Jadi politik praktis itu adalah politik yang berorientasi pada kekuasaan. NU tetap harus memberikan pencerahan kepada umat, menjelaskan bagaimana politik itu supaya kita sebagai warga NU tidak tertipu oleh para pemain politik. Maka, dalam hal memilih pemimpin diserahkan kepada individu masing-masing.

Bagaimana kriteria pemimpin yang mesti dipilih warga NU?

Kita sudah tahu dalam agama bahwa pemimpin itu yang sesuai dengan keempat sifat Rasulullah. Yaitu orang yang selalu berkata jujur (shiddiq), bertanggung jawab (amanah), transparan (tabligh), dan memiliki intelektualitas yang lebih (fathonah). Itulah kriteria pemimpin yang harus kita pegang dalam hal memilih pemimpin.
Kiai, apakah NU membutuhkan payung politik?
Betul. Dalam dakwahnya, secara keorganisasian dan kelembagaan, NU punya dan membutuhkan payung politik. Kalau kita tidak punya payung politik, maka kita akan sangat mudah digerus oleh kekuatan politik di luar NU nantinya.
Maksudnya, kiai?
Artinya kalau ada warga NU yang ingin menjadi pejabat publik, maka kita harus berikan apresiasi. Tapi dengan catatan harus berpihak kepada NU. Membantu mengembangkan dakwah NU. Kalau misalnya mengeluarkan undang-undang, misalnya, harus yang sesuai dengan garis kebutuhan NU. Sebab NU itu selalu berpikir bagaimana kemaslahatan umat harus didahulukan.
Jadi sangat bagus sekali jika ada warga NU yang menjadi anggota DPR, menjadi pemimpin daerah, gubernur, walikota, bahkan presiden, itu bagus dan itu harus kita dukung. Karena berarti kekuasaan politik itu bisa digunakan untuk kemaslahatan dalam menunjang kiprah NU agar terus menciptakan suasana kondusif di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.


(Aru Elgete)

Tidak ada komentar