Banner

Breaking News

Menegaskan Ukhuwah Islamiyyah dan Persaudaraan Universal


Ilustrasi. Sumber gambar: jurnalsumatra.com


Oleh: Aru Elgete

Kalau Islam sudah menjadi tatanilai, kebudayaan, dan estetika kehidupan sosial, maka kekuatan cinta dapat dirasakan sebagai satu kesatuan yang utuh demi menciptakan persaudaraan.

Islam sebagai nilai yang berpola, berprinsip, dan bernafaskan persatuan dengan tanpa sekat. Karenanya dengan universalitas, serta melihat kondisi sosio-kultural secara menyeluruh, maka akan memberikan harapan persaudaraan yang utuh bagi sesama dan semesta.

Maka, Islam bersifat lentur. Islam menjadi empati bagi kemanusiaan tanpa embel-embel apa pun. Islam menjadi tak berjarak dan bersekat. Tidak sama sekali terkoyak dan terkotak. Sebab, fungsi cinta adalah sebagai perekat persaudaraan.

Ketika berbicara soal cinta, maka tak ada lagi pembahasan mengenai pahala, ketakutan akan dosa, berharap surga atas kebaikan yang dikerjakan, serta berusaha dengan sekuat tenaga dalam mengerjakan kebaikan demi menghindari siksa neraka.

Karena pahala, dosa, surga, dan neraka sesungguhnya adalah penyekat dari cinta yang bermakna universal. Kalau tujuan akhir dari sebuah pengembaraan di dunia hanya pada keempat hal itu, maka Ukhuwah Islamiyyah akan menjadi angan-angan yang kosong; utopis.

Baca juga: Ukhuwah Islamiyyah dan Persaudaraan Universal

Berpikir layaknya pedagang yang selalu ingin mendapatkan keuntungan dari setiap perilaku kebaikan, membuat kita abai pada kemerosotan moral yang terjadi di sekitar. Sebab kita pasti berpikir akan mendapat kerugian ketika menjadi bagian dari keterpurukan itu.

Padahal jika kita sudah menjadi bagian dari objek kemerosotan moral yang terjadi, akan sangat mudah untuk mewarnai lingkaran itu dengan universalitas cinta dan nilai-nilai keislaman; yakni ketaatan, kepatuhan, keberpasrahan diri kepada Allah. Hal itulah yang dapat merangsang kita untuk bersedia menebar keselamatan dan memberikan kedamaian.

Saat kita berperilaku seperti budak yang takut akan siksa jika melanggar aturan dan ketetapan, justru dapat meruntuhkan nilai-nilai keislaman yang digaungkan demi tegaknya Ukhuwah Islamiyyah di bumi.

Pasalnya, kita akan enggan meleburkan diri ke dalam komunitas atau lingkaran kemaksiatan karena dibayang-bayangi siksaan dan ancaman yang menakutkan.

Padahal, kembali dikatakan, bahwa dengan melebur ke dalam lingkaran itu, kita dapat mewarnainya dengan polarisasi kehidupan yang estetik dan dialektik.

Allah pun mengetahui segala bentuk ketersembunyian dan kesunyian dalam hati. Dia melihat serta memahami niat tulus kita dalam menegakkan persaudaraan yang diselimuti oleh prinsip keislaman.

Begitu juga halnya ketika kita hanya fokus pada neraka dan surga dalam pengembaraan hidup di dunia. Maka yang terjadi adalah ketersekatan yang akan mempersulit terbentuknya persaudaraan. 

Karena iming-iming pahala, ancaman dosa, kenikmatan surga, dan siksa neraka, adalah yang menyebabkan terbentuknya rasa primordialisasi Islam yang justru akan menjadi benalu dalam kehidupan yang dinamis. Menghilangkan hal-hal tersebut akan menciptakan harmonisasi kehidupan yang estetik menjadi nyata.

Maka, tujuan akhir kita adalah soal Ukhuwah Islamiyyah. Kebersatuan, persaudaraan, dan keniscayaan akan didasari oleh cinta. Sebab cinta adalah permadani kehidupan yang diberikan Allah. 

Cinta merupakan kemurnian sejati, sebagai pendobrak dan penghancur tembok pemisah antara kita, juga untuk memusnahkan segala kemunafikan serta kepentingan yang justru menjauhkan diri dari kerelaan Allah," renungan saya suatu ketika. 

Dengan begitu, kita tak perlu lagi mengajak Allah untuk berhitung soal pengeluaran jasa dan sebagian rezeki, yang kemudian mengharap imbalan dari itu. Kita akan melihat segala sesuatu adalah manifestasi dari perwujudan Allah, atau setidaknya terdapat unsur keilahian dari setiap objek penglihatan.

Artinya, kita selalu dalam pengawasan Allah. Kita akan senantiasa menjadi pelayan-Nya yang melaksanakan fungsi staf ahli (khalifah fil-ardl). Sebab, setiap langkah kaki dan desahan nafas kita sudah tak lagi berjarak dengan Allah. 

Saat Ukhuwah Islamiyyah sudah tegak dan terwujud, pemutlakan kebenaran Allah atas penafsiran diri yang sangat terbatas, tidak diperkenankan merajalela. Sikap keagamaan yang jumud, rigid, kaku, beku, dan kepala batu akan musnah.

Hal tersebut pasti tersingkir dengan sendirinya, karena yang tersisa hanyalah ketawadluan, sikap toleran, saling menerima kebenaran lain yang juga hasil penafsiran, dan sikap saling mengasihi satu sama lain.

Selain itu juga dapat melebur pada kemaksiatan untuk melanjutkan perjalanan menuju ketaatan, bukan menghakimi dan menyesatkan ketersesatan.

Pada akhirnya, semua makhluk bergembira. Kegembiraan itu membumihanguskan kebencian. Sementara kita akan menyongsong pada persaudaraan yang titik gravitasinya adalah nilai-nilai keislaman.


*Penulis adalah Pengelola Media PCNU Kota Bekasi, Kader IPNU, dan Kontributor NU Online 

Tidak ada komentar