Banner

Breaking News

Ukhuwah Islamiyyah dan Persaudaraan Universal


Ilustrasi. Sumber gambar: rumahnikah.com


Oleh: Aru Elgete

"Al-muslimu akhul Muslim," itulah sepotong hadits yang sejak SD, menjadi sebuah kebanggaan. Pertama, karena saya memang menghafal teks tersebut. 

Kedua, adanya sebuah harapan agar Islam dapat bersatu oleh, dari, dan untuk persaudaraan.

Ketiga, di dalamnya tersirat bahwa Islam tidak bakal terpecah dan dipecah. Menjadi satu kekuatan untuk melawan dan meruntuhkan segala jenis urusan keduniaan yang tidak bergaris-lurus dengan Allah.

Islam harus menjadi sebuah harapan dengan jalan kebenaran dan ruang proses bagi perbaikan diri. Kemudian, Islam dengan keluwesannnya mampu merangkul siapa pun untuk memahami serta mempelajarinya sebagai sebuah tatanilai, kebudayaan, dan estetika kehidupan sosial.

Islam adalah tatanilai. Karenanya, ia mampu mengilhami manusia untuk tetap berislam; patuh, berpasrah, memberi kedamaian, menebar keselamatan, dan menabur kesejahteraan.

Islam juga sebagai bentuk kebudayaan. Islam mampu membuat siapa pun, yang berada dalam lingkarannya; berbudaya, berakal-budi, dan memiliki pekerti yang luhur.

Sebagai tatanilai dan kebudayaan, Islam akhirnya membentuk sebuah tatanan kehidupan sosial yang estetik, harmoni, dan menjadi lebih dialektik.

Ketiga poin itu adalah titik berangkat keislaman pada universalitas kepribadian, baik di dalam diri manusia atau pada Islam itu sendiri. Islam mencair pada kondisi sosio-kultural di setiap tempat persinggahannya.

Pada akhirnya, Islam tak menjadi sesuatu yang bersifat primordial, sektarianisme, dan romantika cinta yang membabi-buta.

Ketika Islam menjadi sebuah primordialitas keagamaan yang justru menimbulkan ego sektarianisme karena kecintaan yang begitu romantik, sehingga membabi-buta dalam mencintanya, maka esensi dari keislaman itu menjadi hilang, buyar, dan tak berbentuk. 

Padahal Islam tak tersekat. Justru karena cinta, Islam menyeluruh dan mampu memaknai semesta sebagai kekasih, bahkan menjadi tak berjarak dengan Sang Pencipta. 

"Pada akhirnya, Ukhuwah Islamiyyah hanya menjadi impian yang tak berujung," saya membatin saat melihat Islam menjadi terkoyak dan terkotak, bahkan oleh dirinya sendiri.

Ukhuwah Islamiyyah berbeda dengan Ukhuwah-Muslimin (dan berbeda sama sekali dengan Ikhwanul-Muslimin) atau Ukhuwah Bainal-Muslimin wal-Muslimat, dan macam-macam pertaliannya di kalangan Islam, juga bukan Ukhwatun-Islamiyyah tetapi Ukhuwatun-Islamiyyatun.

Hal itu merupakan sebuah strategi persaudaraan dengan mengutamakan prinsip, pola, dan napas keislaman. Islam di dalam kalimat Ukhuwah Islamiyyah adalah kata sifat. 

Maka persaudaraan yang dimaksud memiliki makna luas, yakni persaudaraan antar sesama manusia dengan satu tarikan napas keislaman; menyiratkan kepatuhan, menganjurkan kepasrahan, menabur dan menebar keselamatan, kedamaian, serta kesejahteraan yang menyeluruh.

Islam yang menyeluruh berarti penuh dengan welas asih, nriman, senantiasa mewujudkan hukum alam (sunnatullah) yang tertinggi, yakni mencintai Allah dengan tulus serta mengejawantahkannya dengan tidak membuyarkan esensi cinta kepada sesama manusia.

Selain itu, universalitas persaudaraan Islam berarti tidak primordial, rigid, jumud, kaku, dan beku. Keislaman justru akan menciptakan persaudaraan yang kokoh, ketika tidak saling mengoyak dan mengkotak.

Sehingga, Islam mampu melebur dengan segala macam kemaksiatan dan keserakahan duniawi, yang kemudian bersedia merangkul serta mengajak pada ketaatan, kepatuhan, dan keberpasrahan diri kepada Allah. 

"Ukhuwah Islamiyyah tidak pernah melakukan proses pendewasaan dengan memonopoli kemutlakan Allah. Artinya, ia tidak primordial. Tidak menganggap bahwa dirinya yang memegang kemutlakan itu. Islam dan Allah adalah dua hal yang kebesaran-Nya amat sangat jauh dari keberadaan dan keberdayaan kita sebagai manusia yang hanya sebesar biji dzarrah," renungan saya, suatu ketika.

Sangat mustahil ketika sepenggal ayat dan hadits atau bahkan pernyataan seorang ulama, yang kemudian ditafsirkan melalui kapasitas otak yang tentu sangat terbatas, dianggap sebagai kebenaran yang mutlak.

Karenanya, Islam sebagai tatanilai dari perwujudan kepasrahan, kerendah-hatian, kepatuhan, yang berimplikasi pada sikap kehati-hatian dan konsisten dalam mencari seraya menambah pengalaman pengetahuan baru agar mendapat kebenaran-kebenaran yang masih banyak berserak.

Dengan pemaknaan seperti itu, cepat atau lambat, dengan tanpa mengubah dasar negara-bangsa, dan dengan tidak bersikap antipati kepada apa dan siapa pun, serta tidak melakukan proses pendewasaan dengan memonopoli kebenaran, atau menganggap penafsiran diri sendiri adalah yang paling benar, maka Ukhuwah Islamiyyah akan segera terwujud.


*Penulis adalah Pengelola Media PCNU Kota Bekasi, Kader IPNU, dan Kontributor NU Online 

Tidak ada komentar