Banner

Breaking News

Harkitnas dan Ramadhan, Momentum Wujudkan Ukhuwah Islamiyyah




Oleh: Aru Elgete 

Setiap tanggal 20 Mei, masyarakat Indonesia memperingati sebuah momentum bersejarah. Yakni, Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Harkitnas merupakan masa bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Negara Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun oleh Negara Belanda.

Kebangkitan Nasional ditandai dengan peristiwa penting, yaitu berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Lahirnya organisasi itu diawali dari  Soetomo yang menyatakan bahwa hari depan bangsa dan tanah air ada di tangan mereka.

Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua" yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Kebangkitan Nasional juga ditandai dengan adanya ikrar sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli. Pada tahun 1912 partai politik pertama Indische Partij berdiri.

Di tahun 1912 itu juga berdiri Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi. Kemudian, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta serta Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera di Magelang Jawa Timur.

Dengan adanya momentum peringatan Kebangkitan Nasional, tentu menjadi angin segar bagi kita, terutama para pemuda, untuk terus meningkatkan rasa persaudaraan. Terlebih, pada tahun ini Harkitnas diperingati bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Yakni fase dimana persatuan sangat kentara. Maka, mari kita lakukan kontemplasi dan muhasabah diri. Sudahkah Ukhuwah Islamiyyah itu terwujud?

 Baca juga: Menegaskan Ukhuwah Islamiyyah dan Persaudaraan Universal

Harkitnas dan Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk menciptakan dan melestarikan persatuan dan persaudaraan. Di dalamnya terdapat makna penting untuk terus melakukan silaturrahmi lahir batin agar keutuhan tetap terjaga. Karena sesungguhnya keutuhan, baik keutuhan bangsa maupun agama, ada dalam genggaman orang-orang yang mencintai persaudaraan.

Islam dan nasionalisme adalah dua pilar penting untuk mencapai cita-cita Ukhuwah Islamiyyah. Di dalam jiwa Nasionalisme terdapat banyak nilai-nilai keislaman. Begitu pula sebaliknya.

Nasionalisme Indonesia, menurut Ir Soekarno bukanlah nasionalisme sempit. Bukan nasionalisme yang memandang bangsa lain lebih rendah dari bangsa sendiri. Akan tetapi nasionalisme yang berada pada taman sari Internasionalisme. Maka, tercetuslah ideologi dan dasar negara, yang menjadi falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila.

Pancasila adalah ideologi yang menjadi alternatif, yang tidak ke barat dan timur, ia menjadi titik tengah di antara Liberalisme dan Komunisme, juga menjadi dasar berdirinya negara yang bukan teokratik dan sekuler.

Pancasila mencintai manusia sebagai manusia, mengeratkan persaudaraan tanpa melihat latar belakang. Bahkan yang tidak menyukai Pancasila sekalipun, akan dicintai dengan ketulusan dan kelembutannya. Itulah Pancasila.

Sementara nilai-nilai keislaman, yang menjadi langkah awal untuk meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah, juga menjunjung tinggi sikap moderatisme. Yakni paham yang tidak condong ke kanan dan ke kiri, yang mendidik kita agar menjadi ummatan wasath, laa syarqiyyah wa laa ghorbiyyah.

Kemudian, kalau hal itu diterapkan dalam keseharian, maka kita akan menjadi khairu ummah yang peduli dan peka terhadap keniscayaan Ukhuwah Islamiyyah.

Keduanya tidak ada pertentangan. Seorang Nasionalis jika sudah memahami makna dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, tidak akan menjadi seorang yang anti-agama.

Begitu pun, seorang Islamis. Ketika sudah mendalami Islam dengan tidak setengah-setengah, maka ia tidak akan memusuhi Pancasila, karena di dalam Islam tidak mengajarkan untuk antipati kepada apa dan siapa pun.

Islam sebagai tatanilai, sudah sangat sesuai dengan spirit nasionalisme dan Pancasila. Islam mengajarkan ketaatan, kepasrahan, kepatuhan, kasih sayang, cinta, kedamaian, kesejahteraan, kemanusiaan, dan ketenteraman.

Lalu, apa yang bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme dan Pancasila? Kalau ternyata Pancasila belum mampu menerapkan nilai di keseharian manusia Indonesia, jangan lantas mengubahnya menjadi Islam sebagai dasar negara.

Biar Islam tetap menjadi Islam, Pancasila tetap sebagai Pancasila. Jangan dicampuradukkan, jangan pula dipertentangkan, apalagi menjadikan keduanya sebagai opsi untuk dipilih salah satu diantaranya.

Keduanya harus berseiring, berdampingan, berjalan pada koridornya masing-masing, namun keduanya memiliki peran yang sama. Islam menjadi pendongkrak moral bagi setiap individu warga negara, sementara Pancasila menjadi dasar moralitas kenegaraan kita.

Atas dasar pemikiran di atas, saya berasumsi bahwa Indonesia dan Islam tidak akan pernah menciptakan kebaikan, kecerdasan dan pencerdasan, serta persatuan dan persaudaraan, kalau masih mempertentangkan kedua dasar itu. 

Islam dan Pancasila adalah faktor pendukung demi terciptanya Ukhuwah Islamiyyah, yakni persaudaraan yang bernapaskan nilai, pola, dan prinsip keislaman. Persatuan antar manusia. Persatuan dan persaudaraan secara universal, yang disatukan serta dipersaudarakan karena, oleh, dan untuk cinta.

Berpegang pada tali Allah

"Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah, serta janganlah kamu sekalian berpecah-belah," QS. Ali Imron 103.

Al-Qur'an sebagai pedoman serta petunjuk bagi seluruh umat manusia di muka bumi, banyak memberikan pesan damai tentang urgensitas persatuan dan larangan bermusuhan.

Untuk memaknai buku panduan umat manusia ini, hendaknya secara universal dan komprehensif, tidak parsial atau pun setengah-setengah karena hanya terpaku pada teks. 

Ketika memaknai teks Al-Qur'an, terlebih ketika hanya melihat dan membaca terjemahan karena keterbatasan ilmu, maka yang dibutuhkan adalah sikap rendah hati. Yakni tidak menganggap bahwa pemaknaannya terhadap teks merupakan kebenaran yang sesuai dengan maksud dan kebenaran Allah.

Hablun (dalam bahasa Arab) atau Cable (dalam Bahasa Inggris), memiliki pemaknaan yang artinya tali, atau sesuatu yang sifatnya menghubungkan. Berpegang kepada tali Allah dalam QS. Ali Imron 103, berarti menjaga konsistensi untuk tetap melakukan atau menciptakan sesuatu yang ada pertaliannya dengan Allah.

Allah adalah Tuhan untuk keseluruhan. Dia bukan pilihan diantara pilihan-pilihan yang lain. Dia tidak menjadi salah satu di antara dua pilihan. Dia tidak beragama. Kekuasan-Nya tidak tersekat oleh apa pun. Dengan berpegang pada sesuatu yang selalu menghubungkan kita pada universalitas nilai keislaman dan keilahian, maka persaudaraan tercipta, sementara keterpecahan tidak mungkin terjadi.

Sebutan Allah itu hanya sebuah nama bagi Dzat Yang Kuasanya tak terhingga. Dia tidak beragama. Tetapi di setiap agama pasti memiliki nama tersendiri untuk menyebut diri-Nya. Di setiap agama juga pasti terdapat sebuah keyakinan dimana ada satu Dzat yang tak kasat mata, namun diyakini memiliki kekuatan yang lebih dari manusia biasa. Itulah yang oleh orang Islam dan orang Arab disebut dengan nama Allah.

Seluruh kebaikan, muaranya adalah Allah. Berbuat baik pada sesama tanpa menyekat, merupakan pertalian yang berujung pada sifat Keilahian. Untuk meniscayakan Ukhuwah Islamiyyah atau persaudaraan antarmanusia dengan prinsip, pola, dan nilai keislaman yang damai, tenteram, selamat, dan lain sebagainya, maka kita harus tetap konsisten berpegang pada tali Allah; tali kebenaran, tali kesucian, tali kejujuran, dan tali keindahan.

Sementara kebenaran, kesucian, kejujuran, dan keindahan, takkan bisa dikalahkan oleh keserakahan, kemunafikan, kebodohan, kejumudan, kekakuan, dan kebekuan. Berpegang dengan tali Allah berarti berani berbuat jujur, berlaku benar, sehingga keindahan dapat terlihat demi mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2018 dan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa di Bulan Ramadhan. Selamat mewujudkan Ukhuwah Islamiyyah. Semoga kita dapat senantiasa menebar kebaikan dalam upaya meneguhkan persatuan dan persaudaraan demi mempertahankan kesucian serta kebenaran yang terkandung dalam Islam dan Pancasila.

Dengan itu, persaudaraan yang tanpa sekat, persatuan yang dengan mengedepankan universalitas cinta, kerekatan yang tanpa memandang latar belakang orang lain, yang mengutamakan nilai-nilai luhur Pancasila dan keislaman dapat terwujud serta menjadi kegembiraan bagi seluruh umat manusia.


*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tim Media NU Kota Bekasi, Kader IPNU, dan Kontributor NU Online 

Tidak ada komentar