Banner

Breaking News

Putra Bungsu Kiai Abbas Buntet Wafat, Ini Pesan Saat Haul 2017



Foto kenangan bersama Mbah Din



Oleh: Aru Elgete




Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon KH Nahduddin Royandi Abbas, putra bungsu KH Abbas Abdul Jamil yang menjadi panglima saat perang di Surabaya pada 10 November, kini telah tiada. Pesan duka itu kudapat sangat massif pada Rabu (25/4/2018) malam. 

Berdasarkan informasi di Website Buntet Pesantren Cirebon, Kiai berusia 84 tahun itu wafat setelah dirawat intensif di Barnett Community Hospital, London, Inggris, selama lebih dari dua minggu. Beberapa hari terakhir, ia mengalami masa kritisnya.


Usai menyelesaikan segala agenda di Bekasi, aku kembali membuka catatan. Pada Haul Buntet 2017, bersama rekan-rekan Forum Silaturrahmi Buntet Pesantren Cirebon (Forsila BPC) Jakarta Raya, kediamannya pernah kusowani.

Begini ceritanya...

Suara adzan subuh, Jum'at (7/4/2017) menggema. Aku terbangun. Karena memang, jarak antara kamarku dengan musala sangat dekat. Usai salat berjama'ah, aku kembali ke kamar. Tubuhku masih sangat berat untuk digerakkan. Pegal-pegal, pasti. Maka, tidur menjadi jalan satu-satunya untuk memulihkan kembali daya tahan tubuh.

Tepat pukul 11.00 WIB, aku bangun. Mandi. Kemudian berangkat salat Jum'at di Masjid Agung Buntet. Satu hal yang sangat kurindukan adalah salat berjama'ah dengan sekaligus bertemu para ulama dan berkesempatan mengecup punggung tangannya. Kemudian aku melihat KH Hasan Kriyani dan kukecup punggung tangannya. 

"Berkah," batinku.

Pukulan bedug, juga merupakan hal yang kurindukan. Sebab di perkotaan, budaya yang ditularkan oleh Islam Nusantara ala Walisanga saat menyebarkan agama itu sudah hilang. Bedug menjadi ciri dari kebudayaan Islam di Indonesia. Ini bukan soal bid'ah yang dholalah dan kemudian masuk neraka.

Akan tetapi mengenai sebuah penghormatan terhadap sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Yakinku, Nabi Muhammad pasti bahagia melihat Islam Indonesia yang ramah-ramah, bukan yang hobinya marah-marah.

Usai salat Jum'at, salah seorang sahabatku semasa di pondok, Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, yang juga pengelola Media Buntet Pesantren Cirebon, menghubungiku. Dia mengajak sowan ke Sesepuh Pondok Buntet Pesantren, KH Nahduddin Royandi Abbas.

Mbah Din, demikian sapaan akrabnya, tinggal di London, Inggris. Sekitar 2 minggu sebelum malam puncak Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren Cirebon 2017, beliau kembali. Pulang ke kampung halaman.

Rumahnya tak pernah sepi. Keluarga dan santrinya berdatangan. Mengharap sebuah keberkahan atau sekadar mendengar cerita dan petuahnya yang menyejukkan.

"Langsung ke rumah yang di belakang Pondok Darul Hijroh dan belakang MTs NU Putri 3," kata Syakir dalam pesan singkatnya.

Aku dan Yahya (senior di kampusku yang kini sebagai wartawan di Jawa Pos) datang agak telat karena ada urusan terlebih dulu. Syukur, masih diterima. Di sana sudah ramai.

Rekan-rekan Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (Forsila BPC) Jakarta Raya sudah datang lebih awal. Masing-masing diri, ditanya asal dan kesibukannya. Setelah berkenalan satu per satu, Mbah Din membuka pembahasan.

Beliau bercerita soal sejarah perang dunia kedua. Kemudian sikap Indonesia yang netral. Tidak mendukung blok barat dan timur. Sebab pada saat itu, Indonesia juga sedang berada dalam lingkaran penjajah.

Maka, hal yang menjadi fokus utama adalah bukan dengan terjun ke peperangan antar kedua poros yang berkepentingan, tapi bagaimana caranya agar lepas dari penjajah yang tidak manusiawi.

Politik ala Belanda, yakni Devide et Impera seperti sudah mendarah-daging. Hal itu disebabkan terlalu lama mereka menduduki dan mempengaruhi kehidupan manusia Indonesia. Hingga saat ini, perilaku adu-domba dan bertengkar karena berbeda pandangan masih terus terjadi.

Sesama anak bangsa diributkan karena berbeda pilihan politik. Saling cibir tak terbantahkan. Bahkan, penolakan memandikan jenazah dan ancaman pembunuhan menjadi senjata utama untuk menyeragamkan keberagaman.

"Di negara kita yang kaya ini ada satu hal yang sangat disayangkan. Yaitu, orang yang jujur, tulus, dan ikhlas untuk memperbaiki keadaan bangsa, atau memberantas korupsi pasti dijauhkan. Dimusuhi. Bahkan, disingkirkan karena banyak kepentingan," kata Mbah Din di hadapan para santri yang mendengarkan secara saksama.

Padahal, lanjut Mbah Din, untuk memimpin sebuah negara yang berlandaskan Pancasila ini, yang dibutuhkan bukan semata-mata agama. Melainkan kejujuran dan ketulusannya.

"Kalau ada pemimpin yang seperti itu, sebentar saja Indonesia pasti makmur," tambahnya.

Manggut-manggut sembari mengucap lirih kata enggih menandakan bahwa orang-orang yang berada di hadapannya merespon dengan sangat baik. Kemudian, beliau berpesan kepada para santri agar giat membaca.

Perpustakaan, toko buku, dan gramedia harus sering-sering didatangi. Jangan sampai terlena dengan perkembangan zaman yang serba instan ini.

"Bahkan, sekarang kita bisa unduh buku dari gadget. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak membaca," ucap Mbah Din dengan menampilkan gaya bicara yang sangat menyejukkan.

Kurang-lebih satu setengah jam kami bertatap muka dengan tokoh yang paling dimuliakan itu. Beliau ingin melihat proses khitanan massal yang menjadi rangkaian kegiatan Haul Buntet 2017. 

Karena itu, dengan kerendahan hatinya, beliau memohon maaf dan kemudian pamit. Pertemuan ditutup dengan sesi foto. Kesahajaannya membuat kami, para santri, gembira bukan main.

Walau sudah sepuh, beliau tidak segan-segan berseloroh, bercerita, dan memberikan nasihat atau petuah. 

"Seperti inilah, wajah Islam yang dibawa Rasulullah dan kemudian dikembangkan di Indonesia. Islam ala Nusantara. Penuh kesantunan, kasih sayang, memberi kesejukan. Bukan dengan menampilkan amarah yang berlebihan sehingga memantik api kebencian dalam diri," batinku saat berjalan menuju pondok.

Kini, wajah sejuk itu sudah tak tampak secara fisik. Namun, ilmu dan berbagai nasihat yang menenteramkan, tetap terpatri dalam jiwa. Siapa pun yang pernah menatap wajah dan mendengar suaranya, pasti mengalami siraman batin yang tak bisa diungkap dalam kata-kata, bahkan dalam kalimat sastra terindah pun.

Segenap Keluarga Besar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bekasi menyampaikan duka yang sangat mendalam atas wafatnya KH Nahduddin Royandi Abbas. Beliau orang baik, semoga tentu mendapat tempat yang baik pula di sisi Allah.

Lahu Al-Fatihah...


*Penulis adalah Santri Buntet Pesantren Cirebon dan Pengelola Website PCNU Kota Bekasi

Tidak ada komentar