Banner

Breaking News

Perkusi, Wadah Kaderisasi, dan Pemahaman Literasi





Oleh: Aru Elgete


Ajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sebuah petunjuk yang diberikan kepada orang agar diketahui. Sementara pelajar bermakna kata kerja. Yakni yang disebut siswa atau murid. Mereka itulah yang memiliki perjuangan untuk terus memperluas cakrawala pemikiran dan memperbesar lingkar otaknya dalam berpikir. Namun, menurut saya, kata pelajar tidak hanya dapat diasosiasikan kepada orang-orang yang tengah belajar di institusi pendidikan. Siapa pun orangnya, apa pun jabatan dan kedudukannya, selama masih gemar mencari asupan petunjuk (ajar) maka dialah yang disebut pelajar.


Maka, setiap orang adalah pelajar. Kanjeng Nabi Muhammad, jauh-jauh hari telah berpesan kepada seluruh umat manusia untuk senantiasa melakukan pendewasaan pengetahuan sejak buaian hingga jasad menyatu dengan tanah. Belajar, menggali ilmu pengetahuan di dunia tidak hanya menjadi persoalan remeh-temeh, tetapi adalah hal serius yang mesti terjaga kelestariannya. Karenanya, mencari ilmu sebagai upaya menjemput petunjuk, di mana pun tempat, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan sepanjang masa.


Menurut Pakar Pendidikan Nana Sudjana, belajar adalah setiap upaya yang dilakukan dengan sengaja agar tercipta suatu kegiatan edukatif yang terjalin antara pengajar dan pelajar. Pada dasarnya, pelajar diartikan sebagai pengguna jasa yang diberikan oleh pengajar. Maka, dalam proses memperluas ilmu pengetahuan, dibutuhkan dua unsur yang saling komunikatif untuk menyampaikan ajar atau petunjuk. Guru, dosen, kiai, ajengan, dan ulama misalnya, adalah washilah untuk mencapai keberluasan pengetahuan dalam diri seseorang.


Mereka itulah yang memiliki jasa dalam menyiapkan kader dan generasi emas di masa mendatang, yang kemudian mampu memperbaiki keadaan negeri. Orang-orang yang punya jasa besar itu, punya cara atau strategi masing-masing untuk mencegah –minimal- lingkungannya dari marabahaya dan malapetaka. Karenanya, memberi asupan (ajar) kepada anak didik adalah sebuah keniscayaan yang sama sekali tak bisa tertolak.


Terdapat banyak cara untuk bisa menciptakan kader terbaik bangsa di masa depan. Salah satunya yang dilakukan Pengurus Pimpinan Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Jawa Barat. Dengan sangat inisiatif, mereka mengadakan sebuah kegiatan positif yakni Pekan Edukasi Siswa-Siswi (Perkusi) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Jabar, di Asrama Haji Kota Bekasi, pada Jum’at-Sabtu (2-3/3).


Perkusi adalah upaya PW IPNU-IPPNU Jabar untuk mengampanyekan sebuah pesan penting di kalangan pelajar. Pesan itu berupa pentingnya pemahaman keagamaan yang sesuai dengan konteks kekinian, spirit dan jiwa kebangsaan, cinta tanah air, dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Tak hanya itu, Perkusi diselenggarakan guna menjalin persaudaraan antar-pelajar. Dengan begitu, pelajar di Jawa Barat terhindar dari gerakan-gerakan radikalisme, terorisme, serta perilaku yang merongrong kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.


“Kami berikhtiar agar pesan kemanusiaan dapat lebih dirasa dan dipahami oleh para pelajar,” kata Ketua PW IPNU Jabar Ziyad Ahmad dalam sebuah wawancara melalui pesan aplikasi WhatsApp, beberapa bulan lalu.


Selain itu, kegiatan Perkusi diselenggarakan dalam rangka menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia juga untuk menyiapkan generasi emas di tahun 2045. Pembangunan karakter, penggalian potensi, talkshow ilmiah, hingga wawasan kebangsaan akan diturutsertakan dalam rangkaian kegiatan. Tersisip pula Focus Group Discussion (FGD) dengan pembagian kelas belajar berdasarkan peminatan. Kemudian, juga ada materi mengenai kepemimpian yang dimaksudkan untuk menyiapkan kader yang unggul dan berkualitas.


“Kami berharap akan lahir pelajar unggul yang siap berkompetisi di tengah arus bonus demografi yang berakhlakul karimah, religius, dan berwawasan kebangsaan,” kata Ketua PW IPPNU Jabar Nurul Fathonah.


Dalam hal Perkusi ini, saya beranggapan, selain IPNU-IPPNU menjadi perantara turunnya sebuah petunjuk kepada para pelajar, juga merupakan sebuah kepedulian terhadap kehidupan pelajar di tengah arus informasi yang mengalir sangat deras. Saya menyambut baik Perkusi. Terlebih di era milenial ini saya berharap, para pelajar mendapat asupan mengenai bagaimana mengisi konten menyejukkan di media sosial. Karena itu, keahlian menulis sangat diharapkan. Hal tersebut sebagai upaya untuk meng-counter radikalisme teks yang kerap berkeliaran di linimasa media sosial.


Kabar baiknya adalah terdapat sebuah materi mengenai pentingnya sebuah pengetahuan literasi yang akan disampaikan penulis muda berbakat Makmun Rasyid. Santri kesayangan almaghfurlah KH Hasyim Muzadi kelahiran Medan pada 26 tahun yang lalu itu telah malang-melintang di dunia literasi. Beberapa buku sudah ditetaskan. Salah satunya adalah Gagal Paham Khilafah sebagai benteng dari kesalahpahaman Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam mempersepsikan konsep khilafah.


Dengan demikian, saya berharap usai Perkusi nanti, akan lahir penulis baru berbakat yang bergaris-lurus dengan pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang telah ditular-ajarkan para pendahulu bangsa. Menangkal gerakan ekstremisme melalui tulisan adalah salah satu cara mulia di era kekinian. Sebab, tulisan serupa peluru yang akan menembus dan membius ribuan otak manusia dalam sekali tembak. Kalau 1000 peserta Perkusi yang hadir nanti, minimal 100 orang yang punya keahlian menulis, maka ada milyaran otak yang terbius untuk senantiasa melakukan perbaikan dan kebaikan bangsa.


Menulis adalah upaya untuk hidup abadi. Chairil Anwar dalam puisinya berjudul AKU telah berikrar untuk hidup seratus tahun lagi. Rupanya, ia akan hidup lebih dari seabad karena karya-karyanya terus dibaca oleh setiap orang dari masa ke masa. Imam Syafi’I pun pernah menulis syair ajakan untuk mengikat ilmu dengan tulisan.


“Ilmu laksana hewan buruan, dan tulisan adalah pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dengan tali pengikat yang kuat. (Sebab) diantara bentuk kebodohan adalah jika engkau memburu rusa, engkau tinggalkan buruanmu tersebut bebas.”


Begitu pula halnya dengan Imam Ghazali. Jauh-jauh hari, ia telah memberi nasihat kepada kita, yang tidak punya garis keturunan orang hebat, untuk menulis. Ulama asal Persia itu mengungkapkan, “Jika kau bukan anak raja dan juga bukan anak ulama, maka menulislah.” Dari untaian kata tersebut, saya berasumsi bahwa dengan menulis, seseorang akan terangkat derajatnya, meskipun berasal dari keluarga yang bukan memiliki derajat tinggi.


Maka, masihkah kita enggan menulis?



*Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Pers PC IPNU Kota Bekasi

Tidak ada komentar