Perkusi, Wadah Kaderisasi, dan Pemahaman Literasi
Ajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti sebuah petunjuk yang diberikan kepada orang agar diketahui. Sementara pelajar
bermakna kata kerja. Yakni yang disebut siswa atau murid. Mereka itulah
yang memiliki perjuangan untuk terus memperluas cakrawala pemikiran dan
memperbesar lingkar otaknya dalam berpikir. Namun, menurut saya, kata pelajar tidak
hanya dapat diasosiasikan kepada orang-orang yang tengah belajar di institusi
pendidikan. Siapa pun orangnya, apa pun jabatan dan kedudukannya, selama masih
gemar mencari asupan petunjuk (ajar) maka dialah yang disebut pelajar.
Maka, setiap orang adalah pelajar. Kanjeng Nabi Muhammad,
jauh-jauh hari telah berpesan kepada seluruh umat manusia untuk senantiasa
melakukan pendewasaan pengetahuan sejak buaian hingga jasad menyatu dengan
tanah. Belajar, menggali ilmu pengetahuan di dunia tidak hanya menjadi
persoalan remeh-temeh, tetapi adalah hal serius yang mesti terjaga
kelestariannya. Karenanya, mencari ilmu sebagai upaya menjemput petunjuk, di
mana pun tempat, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan sepanjang
masa.
Menurut Pakar Pendidikan Nana Sudjana, belajar adalah setiap
upaya yang dilakukan dengan sengaja agar tercipta suatu kegiatan edukatif yang
terjalin antara pengajar dan pelajar. Pada dasarnya, pelajar diartikan sebagai
pengguna jasa yang diberikan oleh pengajar. Maka, dalam proses memperluas ilmu
pengetahuan, dibutuhkan dua unsur yang saling komunikatif untuk menyampaikan ajar
atau petunjuk. Guru, dosen, kiai, ajengan, dan ulama misalnya, adalah washilah
untuk mencapai keberluasan pengetahuan dalam diri seseorang.
Mereka itulah yang memiliki jasa dalam menyiapkan kader dan
generasi emas di masa mendatang, yang kemudian mampu memperbaiki keadaan
negeri. Orang-orang yang punya jasa besar itu, punya cara atau strategi
masing-masing untuk mencegah –minimal- lingkungannya dari marabahaya dan
malapetaka. Karenanya, memberi asupan (ajar) kepada anak didik adalah
sebuah keniscayaan yang sama sekali tak bisa tertolak.
Terdapat banyak cara untuk bisa menciptakan kader terbaik
bangsa di masa depan. Salah satunya yang dilakukan Pengurus Pimpinan Wilayah
(PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul
Ulama (IPPNU) Jawa Barat. Dengan sangat inisiatif, mereka mengadakan sebuah
kegiatan positif yakni Pekan Edukasi Siswa-Siswi (Perkusi) Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) Se-Jabar, di Asrama Haji Kota Bekasi, pada Jum’at-Sabtu (2-3/3).
Perkusi adalah upaya PW IPNU-IPPNU Jabar untuk
mengampanyekan sebuah pesan penting di kalangan pelajar. Pesan itu berupa
pentingnya pemahaman keagamaan yang sesuai dengan konteks kekinian, spirit dan
jiwa kebangsaan, cinta tanah air, dan cinta terhadap ilmu pengetahuan. Tak
hanya itu, Perkusi diselenggarakan guna menjalin persaudaraan antar-pelajar.
Dengan begitu, pelajar di Jawa Barat terhindar dari gerakan-gerakan
radikalisme, terorisme, serta perilaku yang merongrong kehidupan beragama,
berbangsa, dan bernegara.
“Kami berikhtiar agar pesan kemanusiaan dapat lebih dirasa
dan dipahami oleh para pelajar,” kata Ketua PW IPNU Jabar Ziyad Ahmad dalam
sebuah wawancara melalui pesan aplikasi WhatsApp, beberapa bulan lalu.
Selain itu, kegiatan Perkusi diselenggarakan dalam rangka
menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia juga untuk menyiapkan generasi emas
di tahun 2045. Pembangunan karakter, penggalian potensi, talkshow ilmiah,
hingga wawasan kebangsaan akan diturutsertakan dalam rangkaian kegiatan.
Tersisip pula Focus Group Discussion (FGD) dengan pembagian kelas
belajar berdasarkan peminatan. Kemudian, juga ada materi mengenai kepemimpian
yang dimaksudkan untuk menyiapkan kader yang unggul dan berkualitas.
“Kami berharap akan lahir pelajar unggul yang siap
berkompetisi di tengah arus bonus demografi yang berakhlakul karimah, religius,
dan berwawasan kebangsaan,” kata Ketua PW IPPNU Jabar Nurul Fathonah.
Dalam hal Perkusi ini, saya beranggapan, selain IPNU-IPPNU
menjadi perantara turunnya sebuah petunjuk kepada para pelajar, juga merupakan
sebuah kepedulian terhadap kehidupan pelajar di tengah arus informasi yang
mengalir sangat deras. Saya menyambut baik Perkusi. Terlebih di era milenial
ini saya berharap, para pelajar mendapat asupan mengenai bagaimana mengisi
konten menyejukkan di media sosial. Karena itu, keahlian menulis sangat
diharapkan. Hal tersebut sebagai upaya untuk meng-counter radikalisme
teks yang kerap berkeliaran di linimasa media sosial.
Kabar baiknya adalah terdapat sebuah materi mengenai
pentingnya sebuah pengetahuan literasi yang akan disampaikan penulis muda
berbakat Makmun Rasyid. Santri kesayangan almaghfurlah KH Hasyim Muzadi kelahiran
Medan pada 26 tahun yang lalu itu telah malang-melintang di dunia literasi.
Beberapa buku sudah ditetaskan. Salah satunya adalah Gagal Paham Khilafah sebagai
benteng dari kesalahpahaman Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam mempersepsikan
konsep khilafah.
Dengan demikian, saya berharap usai Perkusi nanti, akan
lahir penulis baru berbakat yang bergaris-lurus dengan pemahaman keagamaan dan kebangsaan
yang telah ditular-ajarkan para pendahulu bangsa. Menangkal gerakan ekstremisme
melalui tulisan adalah salah satu cara mulia di era kekinian. Sebab, tulisan
serupa peluru yang akan menembus dan membius ribuan otak manusia dalam sekali
tembak. Kalau 1000 peserta Perkusi yang hadir nanti, minimal 100 orang yang
punya keahlian menulis, maka ada milyaran otak yang terbius untuk senantiasa
melakukan perbaikan dan kebaikan bangsa.
Menulis adalah upaya
untuk hidup abadi. Chairil Anwar dalam puisinya berjudul AKU telah berikrar
untuk hidup seratus tahun lagi. Rupanya, ia akan hidup lebih dari seabad karena
karya-karyanya terus dibaca oleh setiap orang dari masa ke masa. Imam Syafi’I pun
pernah menulis syair ajakan untuk mengikat ilmu dengan tulisan.
“Ilmu laksana hewan buruan, dan tulisan adalah
pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dengan tali pengikat yang kuat. (Sebab) diantara
bentuk kebodohan adalah jika engkau memburu rusa, engkau tinggalkan buruanmu tersebut
bebas.”
Begitu pula halnya dengan Imam Ghazali. Jauh-jauh hari, ia
telah memberi nasihat kepada kita, yang tidak punya garis keturunan orang
hebat, untuk menulis. Ulama asal Persia itu mengungkapkan, “Jika kau bukan anak
raja dan juga bukan anak ulama, maka menulislah.” Dari untaian kata tersebut,
saya berasumsi bahwa dengan menulis, seseorang akan terangkat derajatnya,
meskipun berasal dari keluarga yang bukan memiliki derajat tinggi.
Maka, masihkah kita enggan menulis?
*Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Pers PC IPNU Kota Bekasi
Tidak ada komentar