Banner

Breaking News

Menjadi NU, Menjadi Indonesia


Bendera raksasa NU, dikibarkan pada saat Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Lombok, akhir tahun lalu.



Oleh: Syamsul Badri Islamy

“Menjadi NU, menjadi Indonesia!” demikian dawuh KH Muchit Muzadi. 


Kita tak perlu mengukur relevansi kalimat itu dalam konteks sekarang. Namun, justru kita yang harus merelevansikan parameter tersebut agar tetap langgeng dan ajeg dalam rangka mengawal masyarakat akar rumput yang kebanyakan adalah Nahdliyin. 


Kita pasti tahu sebuah film dokumenter, Samin vs Semen, yang mengisahkan warga Rembang-Pati. Mereka menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia. Dalam sebuah wawancara, seorang ibu paruh baya dengan polos dan tegar berujar, “Aku mohon kepada seluruh ketua NU di seluruh Indonesia, mudah-mudahan bisa menolong rakyat kecil dan melestarikan lingkungan...”


Pernyataan tersebut tentu menghantam kita. Sebab, bukan aparat atau pejabat yang dimintai tolong, tetapi pengurus NU! Dia adalah satu di antara sekian banyak warga NU yang memiliki masalah yang barangkali bukan menjadi fokus utama garapan NU. Bukan persoalan tentang apakah tahlil itu bid’ah atau tidak, bukan persoalan qunut atau jumlah rakaat salat tarawih, tetapi tentang hajat hidup ribuan orang terdampak. 


Perdebatan laten ubudiyyah seperti itu tak ubahnya “kubangan” yang membuat kita tak bisa melihat cakrawala dunia secara menyeluruh—dan harusnya kita sudah lulus dengan itu. Bahwa di luar sana masih banyak “kubangan-kubangan” lain yang siap menenggelamkan bangsa (baca: rakyat) ini. Kita membayangkan betapa bangganya manakala NU berperan aktif dalam mengadvokasi petani di Lumajang yang menewaskan Salim Kancil.


Dalam hal politik, upaya pemberantasan korupsi oleh KPK pernah diriweuhi dengan wacana revisi UU KPK oleh enam fraksi DPR; PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem yang melibatkan 45 anggota yang terhormat. Materi revisi tersebut di antaranya, penghapusan kewenangan penuntutan yang sejauh ini terbukti ampuh, pembatasan penanganan perkara berupa korupsi di atas Rp50 miliar, dan penyadapan yang harus mendapatkan izin ketua PN.


Tentu NU tak boleh tinggal diam dalam menghadapi isu-isu demikian. Jalurnya banyak, mulai dari meja akademis hingga turun ke jalan bila diperlukan.


Belum lagi persoalan asap di sebagian wilayah di Sumatera dan Kalimantan yang ketika itu menguji rasa kemanusiaan kita --apakah memilih untuk peduli atau acuh saja. BNPB menyatakan bahwa asap di sana, saking luasnya spot api, tidak dapat dipadamkan kecuali dengan hujan.


Maka, apakah sulit bagi NU untuk “sekadar/ sedikitnya” menggerakkan massa melaksanakan salat istisqa? Jangan sampai perubahan mendasar, baru dilakukan setelah ada korban jiwa. Perubahan seharusnya dimulai dari kesadaran, bukan kematian.


Dengan tindakan kecil seperti itu barangkali kita yang menjadi NU, sedikit sudah belajar untuk menjadi Indonesia.



*Penulis adalah Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi 

Tidak ada komentar