Banner

Breaking News

Ijtihad Menjadi Seorang Penyair


Sumber gambar: floressastra.com


Oleh: Syamsul Badri Islamy

Rasa ingin tahu, bertanya, semangat mencari, adalah tiga hal yang ‘berbahaya’ yang apabila kita miliki maka kita akan menjadi pemikir besar, filsuf, tentu jika kita mampu mengelola keingintahuan tersebut. Rasa ingin tahu berakar dari sebuah pertanyaan. Keheranan yang dahsyat. Mengapa ada siang dan malam? Bagaimana terjadinya hujan? Kapan bumi diciptakan? Bagaimana musik diciptakan? Bagaimana apel ketika dilempar bisa jatuh ke bawah?

Saat kuliah dulu, ada seorang yang bertanya tentang bagaimana menjadi seorang penyair: “Bagaimana cara menulis puisi?” Saya tak langsung menjawabnya. “Akan saya carikan jawabannya untukmu,” kata saya. Beberapa hari setelahnya, saya googling mencari buku ataupun artikel tentang bagaimana seorang bisa menjadi penyair atau menulis puisi. Saya berharap menemukan artikel: Cara Praktis Menulis Puisi dalam Sekejap, Kiat Menulis Puisi 5 Menit Jadi, atau Rahasia 1 Jam Menjadi Penyair.

Karena tak kunjung menemukan pandangan tokoh tentang cara menjadi penyair atau menulis puisi yang baik dan pertanyaan tersebut terus saja berputar-putar seperti burung parkit di atas kepala, maka saya memutuskan berijtihad. Ijtihad, kata yang sengaja saya pilih, sebab saya hendak mengisahkan tentang Imam Syafi’i sebagai landasan keputusan saya dalam merumuskan jawaban.

Imam Syafi’i adalah satu di antara beberapa orang yang memiliki rasa ingin tahu dan semangat mencari yang tinggi. Sepenggal kisahnya pun bermula dari sebuah pertanyaan: “Bagaimana agar saya memahami Islam yang benar?” tulis Abdurrahman Al-Mahdi, Gubernur Asia Tengah, dalam suratnya. Sang Imam pun menjawab pertanyaan gubernur dengan surat setebal 300 halaman yang kemudian terkenal dengan sebutan Ar-Risalah. Yang demikian itu merupakan sejarah munculnya ilmu ushul fiqh.

Maka, saya akan meneladani Imam Syafi’i dengan berusaha menjawab pertanyaan di atas selengkap dan sedetail mungkin—meski tidak sampai 300 halaman—bahwa cara menjadi penyair atau menulis puisi adalah sebagai berikut:

Pertama, kita sepakat, dunia ini adalah tempat yang indah. Jadi, buat Anda yang terobsesi menjadi penyair, ada baiknya Anda tidak hanya berdiam di kamar gelap dengan alibi kontemplasi, semedi, atau meditasi. Sebab, materi puisi Anda bisa jadi akan dibatasi oleh ruang gelap yang sempit dan pengap. Anda pasti akan kesulitan untuk berfantasi tentang lautan awan yang gemulai saat dilihat dari puncak Mahameru, pesona beningnya laut serta indahnya koral di Raja Ampat, atau nuansa purba dari pulau dan komodo.

Koes Plus menggambarkan:
kata orang tanah kita tanah surga
tongkat dan kayu jadi tanaman

Kedua, bukan hanya kecantikan alam saja yang menghiasi indahnya hidup ini, tetapi juga kecantikan perempuan. Perempuan cantik adalah sumber inspirasi. Tentang kekaguman kita, kebersyukuran kita, keterpukauan kita, dan bahkan keheranan kita; cantik sekali. Semua adalah bahan baku puisi. Cermati bagaimana Gus Mus mengolah bahan dasar tersebut menjadi puisi yang bernuansa transendental:

wanita cantik sekali di Multazamdi tengah-tengah himpitan daging-daging doadi peralatan rumahMu yang agungaku mengalirkan diri dan ratapankumenumpuhkan luap pinta di dadakukubaca segala yang bisa kubacadalam berbagai bahasa runduk hamba

Ketiga, lebih-lebih jika perempuan cantik (atau lelaki tampan) itu Anda cintai dan juga mencintai Anda, maka masih mampukah kebahagiaan itu dikonversikan menjadi kata, sedang semua kata-kata kita adalah sekadar remah-remah roti yang jatuh dari meja pesta pikiran. Hanyalah mereka yang memiliki atensi dan intensitas tinggi bergumul dengan kata yang dapat menggambarkannya dengan baik. Sebagaimana untaian kata Sapardi Djoko Damono yang terkenal itu:

aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya debuaku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Keempat, kita tahu, hidup tak selalu soal cinta, anggur, dan rembulan. Manusia dalam perjalanannya pasti pernah terjungkal, menyesal, gagal. Pernah juga dimabuk cinta atau hancur oleh cinta. Bahwa kegagalan dan rasa menyesal dapat pula dijadikan sebagai bahan untuk menulis puisi. Saya punya saran khusus kepada mereka yang gemar mencurahkan kegalauannya di media sosial: ekspresikan kegalauanmu dalam bentuk puisi. Itu akan menjadikanmu terlihat lebih elegan. Karena membaca puisi itu lebih baik daripada membaca keluh kesah.

Kelima, terdapat adigum: hal yang paling ditakuti oleh seorang penyair adalah kemapanan. Sebab, kemapanan akan membuat kita statis, memandegkan daya kreatif, dan membuat otak tak lagi kritis. Sastra adalah media melawan ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami mereka yang papa. Visi tersebut jelas tergambar dalam puisi Emha Ainun Nadjib:

hendaklah puisiku lahir dari jalanandari desah nafas para gelandanganjangan dari gedung-gedung besardan lampu gemerlapanhendaklah puisiku anyirseperti bau mulut merekayang di trotoar terdamparyang terusir dan terkapar

Atau, puisi WS Rendra yang setiap katanya bagai bara yang ketika disulut, maka menyala:

aku bertanyatapi pertanyaan-pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macetdan papan tulis-papan tulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan

Maka, untuk dapat menulis puisi yang baik, yang perlu Anda lakukan sekarang adalah belajar dan berjalan keluar, berinteraksi dengan alam, buku, kekasih, teman, dan bahkan orang yang tidak Anda kenal sekalipun. Berdiskusi, bersalingtukar cerita dan pikiran dengan mereka. Mengambil pelajaran dalam setiap kalimat yang terlontar (dan yang tidak), seberapapun itu tak bermakna. Sebab, hikmah sering terselip bahkan di dalam ketidakbermaknaan sekalipun. Dan semuanya akan Anda lakukan dengan betul-betul mengoptimalkan pikiran serta daya reflektif (penghayatan) pada diri Anda.

Manfaatkanlah waktu luang Anda untuk membaca puisi-puisi para penyair kenamaan. Dari situ Anda akan menemukan pola-pola yang mereka gunakan, mencontohnya, memodifikasinya, dan akhirnya menemukan warna sendiri. Kita akan mudah menulis puisi setelah bergumul dengan berbagai pengalaman hidup, membiasakan diri merefleksikan dan menuangkannya ke dalam bahasa-kata. Di dunia ini, terlalu banyak hal indah—dan juga kekalutan—untuk bisa dijadikan puisi. Kelima poin di atas barulah beberapa.

Dan atas sikap lancang saya menjawab pertanyaan tentang cara menulis puisi atau menjadi penyair, sedang saya bukan siapa-siapa, harap maklum. Semoga ijtihad sederhana ini mendatangkan pahala bagi saya dan manfaat bagi Anda. (*)


*Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Puisi se-Dunia 21 Maret 2018
*Pertama kali dimuat di Koran Minggu Pagi Yogyakarta, Jum'at, 23 Mei 2014
*Penulis adalah Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi 

Tidak ada komentar