Banner

Breaking News

Upaya Melestarikan Tradisi NU di Kota Metropolitan



Oleh: Aru Elgete

Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) di Indonesia, dilahirkan dari ruang rahim pesantren. Didirikan lantaran untuk membendung gerakan penjajahan fisik dan nonfisik, yang berpotensi mencederai akal sehat serta tubuh manusia.

Secara administratif, NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya oleh Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dan para kiai lainnya. Jauh sebelum itu, terdapat sebuah perkumpulan intelektual yang bernama Tashwirul Afkar atau Nahdlatul Fikr (Kebangkitan Intelektual) pada tahun 1914, yang tokohnya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah.

Tashwirul Afkar merupakan forum diskusi terbatas untuk membahas berbagai hal. Terutama, ketika itu, mendiskusikan soal bagaimana kemerdekaan mesti ditegakkan. Baik kemerdekaan secara fisik, maupun nonfisik. 

Seiring waktu, Tashwirul Afkar tampil sebagai lembaga pendidikan yang sangat berkembang. Bahkan, membuat banyak cabang yang tersebar di berbagai wilayah. Inilah cikal-bakal atau embrio paling awal dari kelahiran NU. 

Dari sejarah yang dimiliki itulah, sesungguhnya NU punya modal besar dalam memperjuangkan kemaslahatan umat. Tradisi intelektual yang dirintis dan dibangun oleh para pendahulu itu, semestinya tetap dilestarikan oleh penerusnya kini. 

Seiring waktu, di usianya yang hampir satu abad, NU tetap eksis dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran. Bukan tidak mungkin juga, NU berkat karya ulama dan karomah kiai terdahulu, mampu menembus dimensi dan lingkaran masyarakat yang beragam di setiap wilayah. 

Pada mulanya, NU memang lahir di basis pesantren dan perkampungan. Maka tak heran, jika organisasi yang satu ini, oleh sebagian orang dianggap kolot karena barangkali kurang bisa beradaptasi dengan kondisi dan tradisi yang berbeda-beda. 

Sesungguhnya, warga NU tentu mengenal kaidah al-muhafazhotu 'ala qodimish-sholih wal akhdzhu bil jadidil ashlah. Bahwa penting untuk merawat tradisi lama, tetapi lebih penting jika dibarengi dengan berbagai inovasi. Singkatnya, tradisi lama dan baru dipadukan sehingga membentuk budaya baru yang lebih baik. 

Di Kota Bekasi, sebuah daerah penyangga Ibu Kota yang metropolis, tradisi NU terlihat masih kurang masif. Setidaknya, terdapat dua hal yang bisa saya telaah. Pertama, kurangnya publikasi di media sosial yang telah menjamur di era digitalisasi. Kedua, budaya tawadhu (rendah hati) yang sangat mengakar terpelihara. 

Kemajuan teknologi zaman serta kondisi wilayah yang metropolis mesti disiasati betul-betul agar dakwah NU dapat dirasakan hingga ke akar rumput masyarakat. Jika tidak, maka akan berdampak pada tergesernya tradisi NU oleh budaya baru yang kian gencar merangsek ke sendi-sendi perubahan zaman.

NU sendiri memiliki banyak sayap, salah satu diantara sekian banyaknya itu adalah Lembaga Ta'lif wa Nasyr (LTN) di setiap tingkatan, dari pusat hingga pengurus ranting di kelurahan. Yakni sebuah wadah yang bekerja untuk memublikasi berbagai aktivitas ke-NU-an. 

NU yang hidup di zaman modern dan berkutat di kehidupan perkotaan, harus segera berbenah diri agar tidak melulu dicap sebagai organisasi yang kolot. Berbagai kegiatan atau tradisi NU, seperti misalnya kajian kitab kuning, bahtsul masail, dan lain sebagainya, mau tidak mau harus secara masif terpublikasi.

Menjadi bagian dari NU merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, karena juga menjadi bagian integral dari perjuangan berdarah-darah yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia, yang sebagian besar adalah ulama dari kalangan NU. Maka, apa sesungguhnya yang membuat kita malu ber-NU? Saya rasa, tidak ada sama sekali.

Karenanya, saya mengajak kepada Nahdliyin se-Kota Bekasi untuk kembali ke khittah NU yang sebenar-benarnya. Bukan hanya khittah dalam hal siyasah (politik), tetapi juga harakah (pergerakan) dan juga ghirah (semangat) menghidup-hidupi NU.

Inilah tantangan serta pekerjaan rumah yang cukup besar bagi pengurus, kader, dan warga NU yang hidup di kota-kota besar, kota metropolitan seperti Kota Bekasi. 

Wallahua'lam...


Penulis adalah Pengurus Lembaga Ta'lif wa Nasyr PCNU Kota Bekasi.

(Tulisan ini pertamakali terbit di Surat Kabar Harian Koran Bekasi, edisi Jumat 21 Juni 2019)

Tidak ada komentar