Banner

Breaking News

Membincang Kontekstualisasi Fiqih KH Sahal Mahfudh


Gus Ulil (kiri) bersama Kiai Enha

Cendekiawan Muda Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla, menjelaskan tentang kontekstualisasi fiqih dan mengkaji buku Nuansa Fiqih Sosial karya Rais ‘Aam PBNU periode 1999-2014 KH Ahmad Sahal Mahfudh.

“Kiai Sahal itu salah satu kiai yang berada di balik gerakan kontekstualisasi fiqih, yang pada tahun 80-an disebut sebagai kontekstualisasi kitab kuning,” katanya dalam diskusi di Ngopi Santri, Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Kampung Cinyosog, Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi, pada Ahad (13/1).

Ulil melanjutkan, Kiai Sahal bersama aktivis muda NU seperti KH Masdar Farid Mas’udi, menjadi salah satu mentor atau penggerak dari gagasan tersebut. Selain itu, Kiai Sahal bukan saja sekadar memberikan restu, tetapi juga terlibat.

“Beliau (Kiai Sahal) ketika itu menulis makalah, khusus mengenai pertanggungjawaban kontekstualisasi fiqih,” kata menantu KH Mustofa Bisri atau Gus Mus ini.

Ia kemudian menganjurkan kepada para santri untuk membaca bab pertama dalam buku karya Kiai Sahal tersebut. Sebab, tergambar dengan jelas, lengkap, dan sistematis gagasan Kiai Sahal tentang kontekstualisasi fiqih atau kitab kuning.

“Gagasan itu pernah beliau sampaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada sekitar tahun 90-an. Di sana Kiai Sahal berbicara tentang maksud kontekstualisasi kitab kuning,” jelas Gus Ulil, demikian ia akrab disapa, dengan suara dan intonasi yang khas.

Menurut Gus Ulil, Kiai Sahal adalah sosok ulama yang menarik. Ia menyebut Kiai Sahal adalah seorang ahli fiqih dan membagi sikapnya terhadap fiqih menjadi dua hal.

Pertama, kalau ada pendapat yang spesifik dari ulama di masa lampau yang ada di dalam kitab kuning mengenai masalah tertentu, beliau tidak akan berani berpendapat. Itu prinsipnya,” tukas pria yang pernah nyantri di Ponpes Mathali’ul Falah, Kajen, Pati asuhan Kiai Sahal.

Kedua, jika ada dua pendapat ulama terkait suatu persoalan, Kiai Sahal memilih salah satu pendapat yang dianggap lebih kuat.

“Tapi beliau tidak akan berani berpendapat dari dirinya sendiri untuk menghormati ulama dari masa lampau. Kedua prinsip itu sering diungkapkan Kiai Sahal di hadapan santri semasa hidupnya,” jelas putra KH Abdullah Rifa’i dari Pesantren Mansajul Ulum, Pati ini.

Menurutnya, prinsip Kiai Sahal yang seperti itu merupakan adab kepada para ulama terdahulu. Walaupun mungkin saja Kiai Sahal memiliki pendapat lain tapi lebih memilih untuk tidak berani berpendapat.

“Inilah adab khas para kiai atau ulama Indonesia,” pungkas Gus Ulil.

Sebagai informasi, Ngopi Santri adalah  akronim dari Ngobrol Pemikiran dan Kesadaran Literasi. Yakni wadah diskusi baru saban Ahad sore, yang diadakan sejak 26 November 2018, di selasar Pesantren Motivasi Indonesia, dengan tema pembahasan dan narasumber yang berbeda setiap pekannya.

Di bawah asuhan KH Nurul Huda (Enha) yang bertindak sebagai pemantik diskusi, Ngopi Santri menjadi ruang belajar bersama mengenai studi keislaman yang lebih komprehensif, dengan konsep yang sederhana, serius tapi santai.

(Aru Elgete)

Tidak ada komentar