Banner

Breaking News

Kiai Mulyadi Effendi: Kita Wajib Bangga Menjadi NU!


KH Mulyadi Effendi


Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama (NU) KH Mulyadi Effendi menjelaskan berbagai alasan yang mengharuskan seorang santri bangga menjadi bagian dari NU.

Hal itu disampaikannya dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Istighotsah Kubro di Masjid Nurul Islam, Komplek Islamic Centre KH Noer Ali Bekasi, Jalan Ahmad Yani, Bekasi Selatan, pada Ahad (2/12).

"Hari ini kita harus menjadikan Kota Bekasi sebagai wilayah Ahlussunnah wal Jama'ah, karena memang dari zaman dulu NU di Kota Bekasi Islamnya adalah Islam rahmatan lil 'alamin," katanya.

Islam NU di Bekasi, lanjut Kiai Mulyadi, tidak kaku. Salah satu buktinya adalah bahwa NU yang membolehkan umat Islam menjadikan salawat untuk dilagukan. 

Menurutnya, saat ini muncul banyak orang yang menggali ilmu agama melalui internet. 

"Kalau nanya sama google bolehkah salawatan pakai lagu? Jawabannya haram. Tapi kalau ulama NU, tidak. Kita bersalawat, Allah yang suruh," jelasnya.

Ia kemudian membacakan surat Al-Ahzab ayat 56. 

"Innallaha wa malaikatahu yusholluna 'alannabi. Ya ayyuhalladzina aamanuu shollu 'alaihi wa sallimu tasliimaa," Kiai Mulyadi menbacakan dengan tartil.

Ayat tersebut adalah sebuah pernyataan Allah. Perintahnya ada pada kalimat shollu dan kalimat sallimu

"Jadi salawatan kepada nabi itu yang menyuruh adalah Allah, dan hanya NU yang salawatan pakai lagu," katanya.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qur'an Fathimiyah Jatisampurna, Bekasi yang pernah belajar di salah satu perguruan tinggi di Saudi Arabia, menyebut bahwa di Arab dan kelompok yang di luar NU tidak suka salawatan dengan menggunakan lagu.

"Bagi mereka, salawatan tidak boleh pakai lagu. Cukup, Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad. Pakai sayyidina juga dibilang haram. Kalau orang NU, salawatannya beragam," jelasnya.

Penceramah kondang yang namanya masuk dalam deretan 200 mubaligh versi Kementerian Agama ini, mencontohkan dengan nada bercanda salawat yang dibacakan ibu-ibu dan versi santri. Hal ini membuat seluruh hadirin tertawa terbahak-bahak.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa di NU ada salawat yang namanya asyghil. Bagi kelompok di luar NU, salawat ini haram.

"Padahal, salawat asyghil dari sejak saya kecil di radio-radio ternama di sekitaran Jakarta seringkali diputar," jelasnya kemudian bersama-sama dengan hadirin menyenandungkan salawat asyghil.

Menurutnya, aneh jika salawat asyghil yang disenandungkan bersama-sama itu diharamkan. Kalau pun ada orang yang membaca salawat salah, maka yang dibetulkan yang salah saja.

"Saya akui, orang NU saking semangatnya salawatan, lafadznya tidak diperiksa," katanya. Ia lantas membacakan kesalahan-kesalahan bacaan salawat yang kerap ada di masyarakat. Kembali, disambut gemuruh tawa.

Namun, NU tidak pernah mempermasalahkan kesalahan itu. Akan tetapi diberi pembenaran dengan cara santun.

"Makanya ada kelompok yang gara-gara penyebutan Al-Fatekah saja ribut. Padahal kalau orang Betawi menyebut adzan, mereka bilang ajan. Kalau orang Sunda bilang adzan, jadi adan. Orang NU mah biasa saja," katanya.

Orang NU, bagi Kiai Mulyadi, sudah biasa dengan hal-hal itu. Maka dibenarkan kesalahan-kesalahan yang seringkali terjadi dengan menggunakan cara-cara yang santun. Tidak serta merta menyalahkan yang dapat memancing keributan.

"Jadi, di sini kita sedang meneguhkan bahwa NU adalah rahmatan lil 'alamin, yang menghargai tradisi dan budaya. Ketika budaya yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka Nahdliyin menerimanya," tegas Kiai Mulyadi.

Ia menyebut, pada kesempatan itu diadakan pembacaan maulid dan marhabanan dengan menggunakan hadroh. Itu adalah bentuk keindahan yang harus tetap dipertahankan.

"Saya tidak bisa membayangkan kalau semua tidak boleh pakai seni, alangkah sepinya dunia ini. Kumandang adzan tidak boleh pakai lagu," kata Kiai Mulyadi yang kemudian mencontohkan adzan tanpa lagu, dan kembali disambut gemuruh tawa hadirin.

Karena itulah, ia mengajak kepada seluruh hadirin untuk bangga telah menjadi bagian dari NU. 

"Kita pun, orang NU, adalah orang yang selalu mau menghargai perbedaan. NU adalah jam'iyyah yang menghargai ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama," tegasnya.

Dikatakan, NU adalah kelompok yang salat tarawih dengan jumlah rakaat 20 ditambah witir 3 rakaat.

"Tapi apakah orang NU, di depan masjidnya memasang pengumuman larangan masuk bagi kelompok yang tarawihnya 8 rakaat? Tidak," katanya, tegas.

Orang NU kalau tahiyyat, jari telunjuknya diam. Tapi NU tidak pernah mempermasalahkan orang-orang yang jika tahiyyat telunjuknya digoyang-goyangkan.

"Itulah yang meyakinkan kita bahwa NU adalah organisasi yang tua dan berpengalaman. Urusan perbedaan biasa saja," katanya.

Kiai Mulyadi melanjutkan bahwa orang NU saat selesai salat ada tradisi salam-salaman. Sebab, bagi para santri, itu hukumnya sunnah.

"Tapi apakah ketika ada orang yang tidak ikut salam-salaman dengan membaca salawat sembari membuat lingkaran itu, tidak jadi masalah. Karena kita menghargai perbedaan," lanjutnya.

Oleh karena itu, kata Kiai Mulyadi, orang NU harus senantiasa meneguhkan akidah Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dalam bingkai ukhuwah Islamiyah

"Makanya para santri harus sering bertanya kepada para ulama, kiai, dan guru di lingkungan NU tentang berbagai kajian keislaman. Karena ulama, kiai, dan guru NU sanadnya sudah jelas. Insyaallah berkah dunia dan akherat," pungkas Kiai Mulyadi.

(Aru Elgete)

Tidak ada komentar