Pendirian Rumah Ibadah Harus Sesuai Kebutuhan
Sumber gambar: republika.co.id |
Menanggapi isu kristenisasi, salah seorang tokoh agama
Kabupaten Bekasi Ustadz Muhib Syadzili mengatakan bahwa sebodoh-bodohnya orang
Islam pasti akan tetap mempertahankan keislamannya.
“Itu pasti,” tegasnya dalam Peringatan Hari Toleransi
Internasional yang diselenggarakan Jaringan GUSDURIan Bekasi Raya, di Kantor
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi, pada Jumat (16/11) lalu.
Kecuali, Ustadz Muhib melanjutkan, umat Islam yang tidak
tahu mengenai agama Islam itu sendiri. Maka ia tidak tertarik terhadap isu
kristenisasi yang berkembang di masyarakat, terutama di Bekasi.
“Kalau ada orang Islam yang masuk Kristen satu atau dua
orang, bisa dipastikan itu adalah orang yang tidak paham Islam,” lanjutnya.
Ustadz Muhib beranggapan bahwa yang dilakukan tiap-tiap
agama merupakan bagian dari dakwah. Jika di islam ada dakwah, maka di Kristen
pun demikian.
Seringkali Jaringan GUSDURian turun tangan melakukan
advokasi atau membantu umat Kristiani untuk mensukseskan pembangunan rumah
ibadah, yakni gereja.
“Karena seharusnya pembangunan gereja itu dimudahkan
urusannya dan diperbanyak. Kalau orang Islam, harusnya diperketat. Di satu
perumahan bahkan bisa ada tiga masjid,” katanya.
Padahal, imbuh Ustadz Muhib, kalau dilihat dari kacamata
agama, tidak boleh ada dua atau tiga masjid di dalam satu perumahan atau desa.
“Bahkan ada masjid yang sudah berdiri selama 20 tahun, baru
diurus berbagai perizinannya,” imbuhnya.
Kenapa gereja harus diperbanyak?
Sebab setiap orang Kristen yang sudah terdaftar di satu
gereja, tidak boleh masuk atau beribadah di gereja lain.
“Kalau di Islam kan enak. Saya NU ingin salat di masjid
Muhammadiyah itu gak masalah, ibadah
kita tetap sah,” kata Ustadz Muhib.
Ia menambahkan bahwa pembangunan gereja di suatu wilayah
sebenarnya tidak ada dampak sekali terhadap lingkungan masyarakat.
“Bukan berarti jika ada gereja dan kemudian semua orang yang
ada di sana jadi Kristen semua,” tambahnya.
Kalau misalnya kebutuhan umat Kristiani untuk mendirikan
gereja, maka harus dipersilakan dengan lapang dada, karena itu kebutuhan.
“Daripada kita kasihan melihat mereka yang mau beribadah
tapi harus jauh-jauh melakukan perjalanan ke Jakarta, ke Katedral setiap hari
Minggu. Jauh banget. Sementara kita
orang Islam cuma sekadar jalan 500 meter saja kadang malas. Maka seharusnya
Islam yang mesti diperketat untuk mendirikan masjid,” katanya.
Akan tetapi, ia menuturkan, harus dengan kesepakatan warga. Kalau
ada warga yang merasa terganggu dengan pendirian rumah ibadah, lebih baik tidak
dilakukan.
“Memang ada aturan untuk ada kesepakatan warga harus ada minimal
90 orang yang setuju dengan melampirkan kartu identitas. Itu pun harus ada
persetujuan dari lurah. Ketentuannya memang sangat rumit karena minoritas,”
tuturnya.
Kalau masjid, karena umat Islam adalah kaum mayoritas di
negeri ini, ingin membikin rumah ibadah setiap meter pun tidak menjadi masalah.
“Tapi kan karena
ada ketentuan fiqih harusnya lebih
ketat. Bisa jadi malah Nabi menganjurkan jika ada dua masjid di satu desa maka
salah satunya harus dibakar. Harus dibakar itu karena ada dua masjid yang
berbeda yang bisa membuat masyarakat jadi tidak akur,” katanya.
Maka itulah salah satu yang diperjuangkan oleh Jaringan
GUSDURian dalam mengadvokasi umat beragama dalam mendirikan rumah ibadah dengan
berdasar pada kebutuhan.
“Upaya-upaya itu dilakukan dengan penyadaran kepada
masyarakat. Kalau misalnya tidak butuh-butuh banget ya lebih tidak usah. Kan gitu,”
pungkasnya. (Aru Elgete)
Tidak ada komentar