Banner

Breaking News

Jokowi-Kiai Ma'ruf vs Ideologi Transnasional dan Transaksional




Oleh: Aru Elgete

Usai sudah rasa penasaran masyarakat Indonesia selama beberapa waktu ini. Penasaran soal siapa calon pemimpin negara untuk lima tahun ke depan. Walau sudah ditebak, yang akan menjadi calon presiden (capres) siapa, tapi jabatan calon wakil presiden (cawapres) yang membuat masyarakat tak henti-henti berspekulasi.

Kita tidak perlu bahas soal bagaimana permainan politik transaksional yang belum lama ini mencuat ke permukaan. Sebab peribahasa mengatakan, tak akan ada maling yang mau mengakui perbuatan jahatnya. Biarlah itu menjadi seperti bibit yang ditanam dan kemudian di waktu yang tepat akan dipanen. Kita juga tak perlu bicarakan tentang bagaimana proses capres mencari cawapres.

Sebagai warga Nahdlatul Ulama (NU), baik struktur maupun kultur, tentu merasa bangga atas dipinangnya Panglima Kiai (Rais Aam PBNU/Ketua Umum MUI) KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres dari Presiden Petahana Joko Widodo. Cicit dari Syaikh Nawawi Al-Bantani itu, bisa dikatakan, merupakan jawaban atas kegelisahan Jokowi selama ini yang kerapkali diisukan soal sosok yang jauh dari agama.

Pasangan Jokowi-Kiai Ma'ruf dengan koalisi partai yang jumlahnya lebih banyak dari kubu lawan, tentu sudah menang sejak dalam pikiran. Di atas kertas, kemenangan itu telah diperoleh. Keilmuan Kiai Ma'ruf yang nyegoro (seluas samudera), perlu menjadi perhitungan yang matang dari lawan untuk mengalahkannya.

Namun, ini bukan soal kalah dan menang. Kita tidak sedang berkelahi, bertempur, dan berperang. Lebih tepatnya berkompetisi (fastabiqul khairat), untuk menentukan siapa nakhoda Indonesia pada periode 2019-2024. Kalau boleh dikatakan, konstelasi politik nasional saat ini sudah mencapai puncak kebertahanan diri untuk melawan gerombolan perongrong kedaulatan NKRI.

Di kubu lawan, ada ideologi yang jelas bertentangan dengan Ahlussunnah wal Jama'ah. Di sana, terdapat "tunggangan" ideologi yang siap menggerogoti daging Ibu Pertiwi saat diberikan panggung kekuasaan. Kita bisa sama-sama saksikan bagaimana propaganda saudara-saudara eks-HTI yang ingin sekali mengganti presiden dan mengganti sistem.

Felix Siauw, misalnya. Di satu segmen video yang dibuat, ia mengatakan bahwa era kepemimpinan Presiden Joko Widodo adalah zaman dimana Islam menjadi terpinggirkan. Maka, ia menyuarakan untuk mengganti presiden dan kemudian mengganti sistem. Lalu ada pula Ismail Yusanto yang dalam videonya meneriakkan hal yang sama. 

Narasi-narasi itu diciptakan, menurut saya, karena perasaan yang merasa tersakiti. Istilah zaman now biasa kita dengungkan; baperan. Karena, Islam yang seperti apa yang dimaksud aktivis eks-HTI itu? Kurang beragama bagaimana lagi tokoh sekaliber Kiai Ma'ruf Amin?

So, langkah Jokowi menggandeng Ketua Umum MUI itu sudah sangat tepat sekali. Terutama dalam hal menjaga eksistensi Islam Indonesia agar tidak terkooptasi oleh Islam transnasional semacam Hizbut Tahrir. Motto Islam Nusantara yang digadang-gadang menjadi rujukan Islam di dunia akan dengan mudah mewujud jadi nyata.

Bentuk keberpihakan Jokowi kepada Islam adalah dengan membangun kekuatan antara ulama dan umara. Beberapa tahun lalu, Jokowi menciptakan Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW). Itu adalah salah satu bukti bahwa rezim Jokowi tak anti-agama. Kini, isu agama sudah tidak akan berlaku lagi untuk menyerang dan menjatuhkan Jokowi. 


Sesungguhnya, ini bukanlah pertarungan lima tahunan saja. Akan tetapi guna menyelamatkan wajah Islam Indonesia. Panglima Kiai itu akan sangat bersukacita memberi tameng dan pertahanan soal kalimat "politisasi ulama" atau bahkan pemaknaan "ulama" itu sendiri. Toh, siapa yang meragukan keulamaan Kiai Ma'ruf?

Kemudian bagaimana dengan jargon 'Kembali ke Khittah 1926' yang dicetuskan saat Muktamar NU di Situbondo tahun 1984? Lima tahun setelah jargon itu mengemuka, warga NU diberi pakem dalam berpolitik. Pada Muktamar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta tahun 1989 tercetuslah sembilan pedoman berpolitik bagi Nahdliyin.

Pertama, berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama. Yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebangsaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

Ketiga, politik bagi NU adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa. Berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, politik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah.

Ketujuh, berpolitik bagi NU dengan dalih apa pun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.

Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu, dan saling menghargai satu sama lain. Sehingga, dalam berpolitik tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.

Kesembilan, berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal-balik dalam pembangunan nasional, untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri, dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Dari kesembilan poin itu, kita dapat menyimpulkan bahwa politik warga NU lebih besar dari politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan. Sebab kekuasaan memiliki jangka waktu, sedangkan politik kebangsaan ala NU adalah yang memperjuangkan kemaslahatan umat secara menyeluruh.

Kiai Ma'ruf Amin sebagai perpanjangan tangan dari Nahdliyin se-Indonesia, diharapkan mampu mewujudkan dan memberi teladan baik untuk berpolitik dengan bijak. Kemudian, Kiai Ma'ruf sebagai perpanjangan tangan dari suara ulama se-Indonesia juga diharapkan mampu mewujudkan nilai-nilai keumatan demi menciptakan negara yang tenteram (darussalam).

Akan tetapi, saat Kiai Ma'ruf terpilih sebagai wakil presiden nanti (lebih baiknya dalam waktu dekat ini), beliau harus mundur dari jabatan Rais Aam. Hal itu demi menjaga marwah NU agar tidak berada di bawah ketiak penguasa. NU, secara kelembagaan, harus tetap bersinergi dengan pemerintah. Sinergi, dalam arti sejajar. Menjadi karib. Sebab NU dilahirkan, jauh dari Indonesia merdeka secara politik.

NU sebagai pemilik aset besar NKRI, tidak bisa menjadi "kacung" pemerintah. NU mesti berdiri sebagai organisasi Islam kemasyarakatan yang peduli terhadap nasib keumatan, dengan menggandeng pemerintah. Karena politik NU adalah politik kebangsaan, bukan politik praktis yang menjadikannya menjadi sempit dan kecil.

Selamat berjuang Pak Jokowi dan Pak Kiai Ma'ruf Amin. Saya tahu bahwa  perjuangan saat ini bukan hanya ingin mendapatkan kursi kekuasaan, tapi untuk berkompetisi dengan kelompok transaksional dan sekaligus transnasional. Semoga Allah meridhoi niat baik untuk melakukan perbaikan. 

Dalam beberapa kesempatan, Kiai Ma'ruf sebagai sosok ahli fiqh yang sangat terampil mengatakan, "al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah".


Wallahua'lam


Penulis adalah Kader NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar