Banner

Breaking News

Bantargebang Kaum, Masihkah Ada?


Kitab Rurukunan


Oleh: Wildan Fathurrahman

"Ari rukun iman eta aya genep perkara, kahiji iman ka Allah ta'ala , kadua iman ka para malaikatna, katilu iman kana kitab-kitabna,  ka opat iman ka para rosulna, kalima iman kana poe qiyamat, ka genep iman kana papasten, anu hade anu goreng eta kabeh datangna ti Allah ta'ala dan seterusnya..."

Itulah sepenggal narasi  dalam sebuah kitab yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Kitab Rurukunan. Kitab itu dibacakan seorang guru, dan diikuti murid-muridnya berulang-ulang. Sedangkan hal yang menegangkan bagi para murid adalah menghafal dan menghadap satu per satu kepada guru untuk membaca kembali apa yang telah diajarkan tadi, dengan tanpa teks.

Bacaan itu dilafalkan di hadapan guru yang sangat dihormati dan ditakuti. Para murid akan merasa malu apabila tidak hafal atau tidak lancar membacakannya. Ada pula yang takut ditakzir (mendapat hukuman) berupa jepretan rotan yang bakal mendarat di tangan mereka.

Usai pengajian, mereka bubar tanpa komando dan kembali keesokan harinya. Walaupun ada beberapa santri yang sengaja tidur di masjid atau di rumah sang guru. Alasannya agar bisa ikut salat subuh berjama'ah. Sebab rumah mereka jauh, dan kondisi saat itu pun masih gelap gulita karena aliran listrik belum masuk.

Kegiatan pengajian seperti itu berlangsung setiap hari pada bakda magrib hingga waktu isya tiba. Tempatnya di sebuah masjid perbatasan antara Bekasi dan Bogor. Masyarakat generasi awal sekitar tahun 1890-an menyebutnya Masjid Bantargebang Kaum. Kini, berubah nama menjadi Masjid Jami' Al-Ikhlas. 

Seorang kiai kharismatik yang sangat dicintai, Mbah Guru atau KH M Yusuf bin H Rodjaya merupakan seorang pimpinan masjid tersebut. Beliau lahir di akhir abad ke-18 Masehi. 

Kegiatan pengajian itu diikuti oleh para santri dari berbagai kampung. Diantaranya Kampung Bulak dan Kampung Ciketing. Kesemuanya itu mengaji dan melaksanakan salat Jum'at di Masjid Bantargebang Kaum. Sebab memang masjid itu adalah masjid pertama yang ada di sana. 

Seiring waktu berjalan, Mbah Guru memiliki keturunan. Adik, anak, cucu, dan murid-muridnya setelah dianggap cukup mengaji kepadanya, diperintah untuk mengaji ke daerah-daerah lain untuk memperdalam ilmu agama. Tujuannya agar sepulang dari pondok pesantren di daerah lain itu, bisa ikut mengembangkan syi'ar atau dakwah agama Islam di Bantargebang Kaum.

Sang Pelita Zaman itu kembali ke Pangkuan Allah

Mbah Guru wafat pada suatu malam di kediamannya saat sedang mendaras (tadarus) Al-Qur'an. Beliau dibunuh dengan keji oleh para garong kompeni antek penjajah Belanda ketika itu. Beliau wafat di usia kurang lebih 60 tahun, pada sekitar tahun 1940.

Kini, harapan Mbah Guru terkabul. Sanak saudara, anak-anak, cucu, dan murid-muridnya yang pulang dari luar daerah Bantargebang Kaum itu turut berjuang mensyi'arkan agama Islam. Mereka mendirikan musala-musala, masjid, dan pondok pesantren.

Bukti konkretnya adalah terbentuk Madrasah Ibtidaiyah Al-Muhtadin. Sekolah itu didirikan oleh keluarga besar dan murid-muridnya. Banyak juga diantara mereka mendirikan lembaga-lembaga keagamaan. Yaitu KH Abdul Rozak yang diawali dengan membangun Masjid Al-Ittihad. Kemudian KH M Bakir yang konsisten dengan Musalanya.

KH Ahmad Nasir yang membangun Pondok Pesantren Al-Barkah. Ada pula KH Acep Basuni yang mendirikan Pondok Pesantren Darul Muttaqien, dan Almarhum KH Ahmad Jailani mendirikan Pondok Pesantren Sunanul Hudan. 

Selain dari nama-nama yang disebutkan itu, ada banyak juga santri Mbah Guru yang meneruskan estafet perjuangan, dengan mengajarkan kepada anak-anak dan murid-murid mereka ilmu pengetahuan dasar agama. Salah satu yang terus dijaga dan dirawat adalah tradisi membaca Kitab Rurukunan karya Mbah Guru. 

Kaum dalam sandingan kata Bantargebang yang di awal banyak saya sebut adalah istilah yang berkembang di masyarakat betawi atau sunda. Pada masa itu, istilah tersebut diungkap untuk menyebut satu daerah yang dianggap oleh mereka terdapat tokoh agama dan masyarakat yang religius atau taat beragama.

Sebagaimana halnya kata kaum disandingkan dengan satu nama daerah di Jakarta, yaitu Jatinegara Kaum. Di sana, pada masanya adalah salah satu basis penyebaran Islam di Jakarta yang dikomandoi oleh Yang Mulia Pangeran Djayakarta. 

Bantargebang Kaum dengan sejarah emas pengembangan agama yang luar biasa itu, patutlah kita syukuri. Salah satu bentuk kebersyukuran tersebut dengan cara kita sebagai penerus pengisi kehidupan di Bantargebang, umumnya di daerah lain, supaya bisa selalu berpegang teguh pada agama.

Selain dari pada itu, bersyukur dengan cara tidak putus untuk terus mengaji. Karena dengan begitu, Allah akan ridho. Sementara Mbah Guru, alim ulama, dan para pendahulu kita akan tersenyum bangga kepada kita.

Allahummaghfirlahum, warhamhum, wa 'afihim wa'fu 'anhum

Penulis adalah Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kecamatan Bantargebang

Tidak ada komentar