Banner

Breaking News

Ramadhan Sebagai Ajang Saleh Tahunan, Benarkah?





Oleh: Aru Elgete

Ada yang unik saban Ramadhan. Dalil dan argumentasi keagamaan diulang-ulang setiap tahun. Seolah-olah umat pelupa. Disuguhi berbagai petuah yang itu-itu saja.

Uniknya, sebagian besar jama'ah di musala dan masjid, baik di perkampungan atau di perkotaan, manggut-manggut seakan mengerti. Sementara sebagian yang lain, selalu menebak tema ceramah para ustadz di atas mimbar. Dan, tebakannya selalu tepat.

Di hari kedelapan puasa, Amat, seorang pemuda kampung, mulai memperlihatkan kepongahannya. Melalui akun facebook milik pribadi, ia menyinyir para ustadz yang setiap tahun seperti kaset kusut. Mengulang-ulang omongan yang sama.

Setiap tarawih, Amat selalu menempati shaf pertama saat salat Isya di musala dekat rumahnya. Tepat di belakang imam. Atau setidaknya rada ke kanan, berhadap-hadapan dengan mimbar. Amat gandrung soal agama. Kegigihannya mencari ilmu agama luar biasa. Sayangnya, dia enggan mondok. 

"Dari tahun ke tahun, tema ceramah gak pernah ganti. Padahal kondisi masyarakat selalu berubah-ubah. Tapi, penceramah di mimbar-mimbar itu selalu membahas hal-hal yang sifatnya ngawang-ngawang. Seperti puasa mendatangkan pahala, mendapat surga, bla-bla-bla," tulis Amat dalam status facebooknya, usai sahur tadi pagi.

Amat menyayangkan sikap para mubaligh yang seperti meninabobokan umat. Lebih-lebih, ia kecewa karena umat seperti dicekoki zat adiktif yang menenangkan sehingga tidak ada kritik yang bisa dilancarkan.

Secara tidak langsung, orator keagamaan di atas mimbar itu selalu menganggap umat sebagai objek yang pasif. Bahkan, dianggap sebagai bagian pelengkap saja. Parahnya, dianggap sebagai alat komoditas supaya ceramah-ceramahnya didengar dan para penceramah itu mendapat keuntungan.

Begitu pikir Amat.

Lebih jauh, Amat pernah menyatakan bahwa Ramadhan sesungguhnya adalah ajang untuk mengubah diri menjadi seorang yang saleh. Tapi musiman. Disebutnya, saleh tahunan. Mungkin, menurutnya, karena suguhan adiksi yang menenangkan itu. 

Sehingga umat menjadi giat beribadah di bulan Ramadhan. Rumah ibadah jadi ramai. Kitab suci dibuka. Setiap hari selalu menyisihkan uang untuk bersedekah. Silaturrahim jalan terus. 

Barangkali semua itu karena pengaruh dari pemuka agama setempat. Masyarakat jadi mendadak saleh. Santunan anak yatim berjalan lancar. Hampir seluruh masyarakat Muslim Indonesia gandrung terhadap sesuatu yang sifatnya ritual-formalistik dan seremonial keagamaan.

Lagi-lagi, kuat dugaan Amat bahwa ustadz, kiai, dan para tetua di kampung, berhasil mempengaruhi orang-orang awam. Tapi, ada hal yang sangat disayangkan Amat.

Dirinya pernah mengomentari status Kiai Mudzakkar, salah seorang ulama di Jawa Timur, yang membahas terkait pahala dan keistimewaan Ramadhan.

"Pak Kiai, alangkah lebih baiknya orang-orang seperti pak Kiai ini gak hanya berkoar mempedulikan masyarakat pada saat Ramadhan saja. Tapi juga melakukan terus-menerus melakukan pendampingan agar orang-orang di akar rumput gak terjangkit virus saleh tahunan. Saya mohon kiai, komentar saya ini jangan dianggap hatespeech. Tapi tolong dipertimbangkan demi kemaslahatan umat."

Usai salat tarawih malam kesembilan, Pak Kiai membuka layar smartphone-nya. Aplikasi facebook dibuka. Penuh notifikasi. Ada yang mengirim tulisan ke dindingnya. Ada juga yang menyukai status yang baru diposting.

Hal yang tak luput dari perhatian Pak Kiai adalah komentar Amat. Spontan, Pak Kiai tersenyum. Ia bahagia melihat Amat yang sudah mulai peduli dan memperhatikan kehidupan masyarakat. Akan tetapi Pak Kiai tidak membalas komentar Amat, melainkan hanya menyukai. Pertanda bahwa Pak Kiai setuju dengan pernyataan dan masukan dari Amat.

"Saleh tahunan," kata itu yang membuat Kiai Mudzakkar berpikir. Berulangkali. Bahkan bertanya-tanya, "Benarkah selama ini, masyarakat Muslim Indonesia terjangkit virus saleh tahunan?" Kiai Mudzakkar termenung. Merenung. Apa yang salah dengan para pemuka agama sehingga tercetuslah istilah saleh tahunan?

Tak lama, Pak Kiai tersadar.

Usai ngaji pasaran, pemilik salah satu pondok pesantren ternama di Jawa Timur itu mengumpulkan seluruh santrinya untuk membincang 'saleh tahunan'. Di aula utama, baik santri laki-laki maupun santri perempuan dengan sangat saksama memperhatikan sosok yang menjadi panutan itu.

Sebagian ada manggut-manggut. Ada juga yang bisik-bisik, seperti membahas sesuatu terkait yang sedang dibicarakan. Sebagian lagi, tertidur sambil duduk. Sebab, waktu sudah tengah malam.

Apa hasil? Sepertinya, nihil. 

Sebab, para santri masih disibukkan dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang membuat mereka enggan memperhatikan kehidupan masyarakat. Lagi pula, masyarakat di sekitar pondok pesantren pun seragam.

Semuanya manut-manut saja apa kata Kiai. Masyarakat setempat pun tidak saleh tahunan karena hidup di lingkungan yang islami.

Sementara di lingkungan yang tidak berada dalam lingkaran keagamaan, penyakit saleh tahunan masih terjadi saban tahun. Namun, Amat optimistis bahwa 11 bulan pasca-Ramadhan tahun ini, orang-orang di sekitarnya akan melanggengkan kesalehan, baik saleh secara ritual atau pun saleh sosial.

Kalau ternyata saleh tahunan masih berlangsung, maka ada hal yang mesti dikritisi dari cara penyampaian dan penjagaan yang dilakukan para pemuka agama terhadap umat. 

Demikian, Amat berpikir.

Wallahu A'lam...


*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Media NU Kota Bekasi, Wakil Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan PC IPNU Kota Bekasi, dan Kontributor NU Online

Tidak ada komentar