Banner

Breaking News

Jadilah Hamba Allah, Jangan Menjadi Hamba Ramadhan


Sumber gambar: tongkronganislami.net

Oleh: Aru Elgete

Di awal-awal Ramadhan di setiap tahunnya, para penceramah dari atas mimbar tarawih seringkali melafalkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Perintah untuk berpuasa itu, dijadikan acuan serta landasan bagi orang-orang beriman untuk mencapai derajat ketakwaan yang baik di sisi Allah.

Karenanya, banyak orang yang ketika bulan Ramadhan datang, langsung membalut dirinya dengan pakaian dan wewangian surga. Hal tersebut dimaksudkan agar (dianggap) menjadi orang yang bertakwa.

Ironi, keberimanan dimaknai sangat sederhana. Begitu pula halnya takwa yang sangat sederhana dimaknai, sehingga banyak orang yang dengan mudahnya melakukan aksi 'bunglon'.

Padahal, Ramadhan adalah bulan Allah. Momentum kecintaan dan keintiman antara hamba dan Tuhannya. Bukan tempat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mementingkan eksistensi atas ibadah yang dilakukan selama sebulan penuh. 

Di pertengahan Ramadhan ini, kita perlu melakukan tadabbur atas ayat-ayat Allah, baik kauniyah maupun qouliyah. Tadabbur dilakukan agar terjadi perubahan di dalam diri pasca-Ramadhan. Tentunya perubahan ke arah yang positif, bukan perubahan yang mengembalikan kita pada diri semula (sebelum Ramadhan).

Artinya, Ramadhan ini kita harus mendapatkan hikmah dan pelajaran yang membuat pribadi menjadi lebih baik. Jangan sampai, pendidikan yang gratis ini justru menjadi sia-sia sehingga kita masuk ke dalam kategori orang-orang yang merugi.

Kembali ke Al-Baqarah ayat 183; Allah memerintahkan puasa (Ramadhan) hanya kepada orang-orang yang beriman, dengan tujuan agar menjadi orang yang bertakwa.

Iman dan takwa adalah sebab-akibat dari aktivitas keagamaan kita. Iman adalah sebab, sedang akibatnya adalah takwa. Begitu pula sebaliknya, takwa bisa saja menjadi sebab dan iman menjadi akibat. Keduanya seiring sejalan, saling melengkapi satu sama lain. Karena iman bersifat dinamis, selalu berubah-ubah. Dan takwa menjadi penyeimbang dari keimanan yang 'naik-turun'.

Kalau Ramadhan diartikan sebagai tempat pendidikan, maka output dari ibadah kita selama sebulan-lah yang menjadi penentu keberhasilan dalam mengenyam pendidikan itu.

Maka, iman dan takwa juga tak bisa sembarang dimaknai dengan sangat sederhana. Sebab keduanya harus benar-benar bermakna bagi kehidupan dan keseharian.

Dalam surat Al-Hujurat misalnya, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar mengejawantahkan keberimanannya itu ke dalam kehidupan bermasyarakat. Allah melarang orang-orang yang masih memiliki keimanan mengolok-olok, mencibir, mencerca, mencela, mendiskreditkan, atau menggunjing golongan lain.

Karena kebaikan dan kebenaran harus dikembalikan ke Allah, tugas kita adalah menjaga kedamaian dan menciptakan ketenteraman di dunia.

Oleh sebab itu, Allah memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman agar mengurangi bahkan menghilangkan prasangka terhadap manusia yang lain. 

Sebagian prasangka adalah buruk. Maka hindarilah berprasangka agar tidak timbul perselisihan. Perbuatan-perbuatan tercela seperti mencibir, mencela, dan menggunjing dianalogikan oleh Allah seperti kita memakan daging saudara sendiri.

Sementara takwa dalam surat Ali 'Imron ayat 134 dimaknai sebagai orang-orang yang gemar berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit. Infak yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan yang berdampak baik terhadap kehidupan bermasyarakat.

Dalam melakukan kebaikan, orang-orang yang bertakwa tidak hanya menunggu saat kondisi dirinya sedang lapang, tetapi juga ketika sedang dalam kesusahan, karena keyakinan dan kecintaan mereka kepada Allah sudah tak bisa diragukan lagi.

Selanjutnya, orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa menahan amarah serta selalu memberi maaf atas kesalahan dan kejahatan orang lain.

Mereka tidak pernah menilai kebaikan diri sendiri dan mengingat kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat orang lain dari sisi kebaikan. Sehingga yang akan timbul adalah sifat dan sikap pemaaf. 

Pembaca yang Budiman,
Keimanan dan ketakwaan kita ditentukan tidak pada bulan Ramadhan, tetapi akan terlihat di 11 bulan setelahnya. Dari situ, juga akan terpampang jelas di dalam kepribadian kita, apakah diri ini benar hamba Allah, atau justru hanya menjadi hamba Ramadhan?

Hamba Allah adalah mereka yang tunduk, patuh, berserah, dan pasrah kepada Allah di setiap waktu. Sementara hamba Ramadhan adalah mereka yang tunduk, patuh, berserah, dan pasrah kepada Allah hanya di bulan Ramadhan.

Semoga kita menjadi Hamba Allah, bukan menjadi hamba Ramadhan yang (parahnya lagi) diliputi oleh kemunafikan dan kepalsuan belaka. 

Di sepuluh hari kedua yang penuh dengan ampunan Allah ini, marilah kita lakukan koreksi diri, luruskan niat, dan tingkatkan intensitas keintiman kepada Allah.

Semoga bekal Ramadhan tahun ini tidak hanya berdampak pada meningkatnya nilai citra di media sosial, tetapi juga menghasilkan karya terbesar; yakni ketakwaan kepada Allah sepanjang waktu, baik di dalam maupun di luar Ramadhan. 


Wallahu A'lam...


*Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar