Banner

Breaking News

Ibadah Kesungguhan Tanpa Kesombongan



Ilustrasi. Sumber: islami.co

Oleh: Aru Elgete


"Durhaka kepada Tuhan yang mewariskan rasa sesal dan rasa membutuhkan Dia, jauh lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan kesombongan diri."

Demikian pernyataan Syaikh Ibnu Atha'illah atau Ahmad ibnu Muhammad ibnu Atha’illah As-Sakandari. Seorang ulama kenamaan yang lahir di Kota Iskandariah, Mesir, pada tahun 1250 dan wafat di Kairo sekitar tahun 1309. Ia merupakan salah seorang tokoh tarekat Syadziliyah. Tarekat ini dipelopori oleh Abul Hasan Asy-Syadzili (1197 - 1258).

Syadziliyah di Indonesia adalah salah satu aliran tarekat yang diakui keberadaannya oleh Jam’iyyah Ahli al-Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah (JATMAN). KH Abdul Jalil Mustaqim dari Tulungagung adalah salah satu mursyid tarekat Syadziliyah.

***.

Pernahkah kita durhaka kepada Allah? Merasa bersalah? Merasa berdosa? Sehingga melahirkan rasa penyesalan dan akhirnya kita merasa bahwa Dia-lah yang sebenarnya menjadi kebutuhan selama ini. Dia-lah yang kita butuhkan setelah lama tak dihiraukan.

Peristiwa semacam itu kerap terjadi. Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah, kedurhakaan yang akhirnya menimbulkan pertobatan diri, lebih baik daripada ketaatan yang menciptakan kesombongan.

Momentum Ramadhan merupakan saat tepat untuk merenung. Melakukan kontemplasi. Berdialog pada diri sendiri. Berkaca. Selama 11 bulan kemarin, perilaku macam apa yang sudah dilakukan, sehingga menimbulkan kedurhakaan yang belum sempat dipertobatkan kepada Allah? 

Kini, saatnya mendialogkan tubuh, jiwa, dan hati, kepada pemiliknya. Sebab Ramadhan menyediakan ruang untuk menyeimbangkan raga dan memperhalus rasa.

Sudah hampir dua pekan, seluruh umat Islam, khususnya di Indonesia, bergembira. Ibu-ibu di rumah mulai sibuk menata dapur agar tetap ngebul. Para mubaligh mencari bahan referensi untuk dijadikan materi ceramah dari atas mimbar. Anak-anak karangtaruna mulai menyusun rencana untuk mengadakan event besar-besaran.

Teman lama semasa sekolah mulai dihubungi dan menghubungi, merencanakan waktu untuk reuni. Remaja alay punya segudang pilihan tempat yang dapat direkomendasikan untuk menjadi lokasi ngabuburit. Semuanya sibuk. Tak bisa diganggu.

Di antara kesibukan dari masing-masing lakon itu, rupanya ada yang lebih sibuk. Kesibukannya tak terjadwal, apalagi terencana. Ia senantiasa berbahagia kalau aktivitasnya dikomentari orang lain. Apalagi kalau mendapat pujian. Pasti besar kepala.

Orang yang melayangkan kritik disebut sebagai hater. Sementara yang memuji dan mengapresiasi diklaim sebagai lover. Sikapnya melebihi dari remaja alay yang mengendarai motor tanpa tujuan sehingga bikin macet tiap sore jelang azan maghrib.

Amat, namanya.

Sedari kecil, ia berambisi menjadi pendakwah. Pernah mengikuti audisi Da'i cilik di salah satu stasiun televisi swasta tanah air. Namun sayang, gagal. Amat lemah di hapalan. Kadang, ia suka membuat contekan di telapak tangan kalau mau ceramah. Bahkan, ketika ikut audisi. Dinyatakan tidak lulus, karena ketahuan berkali-kali melihat contekan di telapak tangan kiri.

Kompetisi Da'i cilik itu salah satu bentuk agenda kaum kapitalis dalam meraup keuntungan. Melalui agama, Islam, sebagai mayoritas di Indonesia, kemudian di bulan Ramadhan, sangat tepat sekali.

Namun, Amat masa bodo. Persetan dengan hal itu. Ia masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Sesuatu hal yang diinginkan hanyalah, cita-cita dan ambisi besarnya terwujud di kemudian hari. Yakni, menjadi Juru Bicara Tuhan.

Amat bersyukur karena lahir di era milenial; zaman yang segala sesuatunya menjadi simpel. Di sebuah tatanan dunia yang bisa digenggam. Singkatnya, kita dapat melihat dan mengetahui apa pun dengan sangat mudah. Bahkan, tanpa menggeser tubuh sedikit pun. Hanya menggerakkan jempol dan kekuatan otot tangan saja.

Oleh karena terdapat kemudahan yang sangat nikmat ini, Amat enggan nyantri. Katanya, pesantren itu kolot. Prosesnya lama. Bla, bla, bla.

Amat beranjak dewasa.

Di hampir setiap media sosial, ada nama Amat di sana. Sengaja, Amat membuat akun di media sosial. Katanya, biar dakwah dan penyampaian kebenaran kepada umat menjadi lebih mudah dan praktis. Ia bermodal Al-Quran dan Hadits. Itu pun terjemahan.

Amat tidak punya simpanan kitab kuning karya ulama terdahulu. Alasannya karena dia tidak bisa bahasa Arab. Sementara untuk belajar diperlukan proses yang sangat panjang. Amat tidak suka.

Berselancar di media sosial membuatnya semakin yakin bahwa kebenaran yang disampaikan adalah kebenaran Tuhan. Mutlak. Absolut. Tidak bisa digugat dan dikritik. Kalau ada yang mengkritik, langsung diblokir. Maka, hampir tidak ada diskusi penyamaan pendapat yang dilakukan Amat..

Walau nama Amat di media sosial sudah terkenal. Ia tetap tidak ingin dikata sombong. Di facebook dan twitter, ia berteman dengan ulama atau kiai Indonesia. Salah satunya, sebut saja, KH Mudzakkar dari Rembang, Jawa Tengah.

Namun rupanya, Amat tidak terlalu suka dengan kiai itu. Katanya, Kiai Mudzakkar kafir, sesat, liberal, dan lain sebagainya.

Amat sering berkomentar atau mention Pak Kiai dengan umpatan yang cenderung ke arah permusuhan. Dengan sangat penyayang, Pak Kiai membalas komentar Amat dengan sangat santun dan hati-hati.

Pengasuh salah satu pondok pesantren di daerah Jawa ini, menganggap wajar perilaku Amat yang seperti itu. Amat masih muda. Masih berapi-api.

Hampir setiap hari, Amat menyerang Kiai Mudzakkar dengan umpatan kasar. Sekalipun bulan Ramadhan, ia tak peduli. Menurutnya, kebenaran harus ditegakkan. Segala yang hak adalah hak, yang bathil adalah bathil. Harus tegas dalam beragama.

Sementara Kiai Mudzakkar, menurut Amat, terlalu liberal pemikirannya. Bahkan cenderung mendekati munafik. Kira-kira seperti itu, gambaran status Amat di facebook, setiap hari.

Amat Insyaf

Demi menciptakan suasana yang kondusif. Kiai Mudzakkar tak mudah terprovokasi. Ia justru menggunakan strategi lain. Sehari tiga kali, ia bikin status.

Kesemuanya tentang diri yang tak punya daya dan kekuatan apa-apa kalau jauh dari Allah. Bahkan, ia memosting Syi'ir I'tiraf. Tentang keberpasrahan diri kepada yang Maha Memiliki.

Kiai Mudzakkar dalam setiap postingannya menitipkan sebuah pesan bahwa jangan jemawa atas ilmu yang dimiliki. Ilmu Tuhan begitu luas. Seluas samudera dan tak berbatas seperti langit.

Kemungkinan salah dan benar, itu sudah biasa. Lumrah. Hal yang terpenting adalah menginsyafi diri. Tahu diri. 

Sebagaimana konsep manusia menurut Imam Ghozali yang pernah diposting Kiai Mudzakkar:

"Ada empat golongan manusia menurut Imam Ghozali. Pertama, rajulun yadri wa yadri annahu yadri. Yakni, seorang yang tahu (berilmu), dan dia tahu kalau dirinya tahu. Kedua, rajulun yadri wa laa yadri annahu yadri. Yaitu, seorang yang tahu (berilmu), tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu. 

Ketiga, rajulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri. Yakni, seorang yang tidak tahu (tidak atau belum berilmu), tapi dia tahu (sadar) atas ketidaktahuannya. Keempat, rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri. Yaitu, seorang yang tidak tahu (tidak atau  belum berilmu) dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. 

Jadi, kamu termasuk golongan yang mana?"

Sementara itu, Amat terenyuh membacanya. Ia mencoba merasuki diri. Merenung. Hingga akhirnya, ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjalankan ibadah kesungguhan di Ramadhan tahun ini.

Amat menyadari bahwa selama ini, ketaatannya hanya mencipta sebuah kesombongan. Kini, Amat bertobat. Ia merasa sudah melakukan kedurhakaan kepada Allah karena ketaatannya yang disombongkan. 

Amat tersadar, bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang dibutuhkan. Kesombongan tak berlaku bagi manusia yang sesungguhnya tak miliki apa-apa.

Ia berharap, Ramadhan tahun ini bisa membawanya pada ibadah kesungguhan yang memberi nilai positif di 11 bulan setelahnya. Semoga, Amat kembali berharap, perasaannya menjadi halus dan jiwanya menjadi lembut kepada segenap makhluk.


Wallahu A'lam


*Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar