Banner

Breaking News

Telaah Moral Sebagai Bekal Pasca-Ramadhan


Sumber gambar: satujiwa.dutadamai.id

Oleh: Aru Elgete

Terhitung sekitar kurang dari dua pekan lagi, Ramadhan akan berakhir. Karenanya, hendaklah kita memperbanyak untuk melakukan fikir dan dzikir. Tujuannya agar amal ibadah selama satu bulan penuh ini, mampu mendongkrak kualitas ketakwaan kita.

Ramadhan adalah bulan yang sakral dalam tradisi keislaman. Sebab ada beragam peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah diturunkan buku pedoman moral dan akhlak untuk seluruh umat manusia, yakni Al-Quran.

Al-Quran diperuntukkan bagi seluruh manusia, bukan hanya Islam apalagi khusus orang Arab. Karena sifat Al-Quran yang universal itulah, kita harus senantiasa mengamalkan perintah dan larangan yang bersifat menyeluruh.

Walau begitu, sekalipun ajaran soal moralitas di dalam Al-Quran bersifat universal, Allah tetap memberikan kekhususan bagi golongan manusia yang benar-benar dikehendaki untuk diberi pengkhususan. Yakni, orang-orang yang berada dalam naungan Islam, orang-orang yang selalu berpasrah, tunduk, dan patuh serta senantiasa menebar kedamaian dan keselamatan bagi sesama dan semesta.

Momentum Ramadhan ini, sudah sepantasnya kita menelaah ajaran moral yang terdapat di dalam kitab suci paling bungsu itu. Sebab Ramadhan dan Al-Quran adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Maka, menelaah ajaran moral yang terkandung dalam Al-Quran di bulan Ramadhan yang kemudian diimplementasikan selama 11 bulan pasca-Ramadhan, sangatlah baik di sisi Allah dan akan melahirkan manfaat bagi sesama manusia.

Ramadhan merupakan bulan pendidikan serta bulan pembentukan akhlak, moral, budi, etika, tatakrama, dan adab. Sungguh merugi bagi siapa saja yang keluar dari Ramadhan tapi tidak mendapat hikmah dan pelajaran apa-apa. Terlebih, tidak ada yang bisa diejawantahkan menjadi sebuah kebermanfaatan dan kebaikan untuk sesama.

Pembaca yang saya hormati,

Di dalam Al-Quran, beberapa hari yang lalu saya menemukan ada kalimat cinta dari Allah yang membuat hati terenyuh. Parahnya lagi, saya sampai tidak bisa tidur selama hampir dua hari karena memikirkan satu ayat atau kalimat cinta itu, dan seperti ada yang mengganjal kalau tidak disampaikan.

Yakni, surat Asy-Syuro ayat 40. Saya maknai: "Balasan bagi sebuah kejahatan adalah kejahatan serupa, tapi Allah mengapresiasi orang-orang yang membalas kejahatan dengan kebaikan. Karena Allah tidak suka orang yang jahat."

Itulah kalimat sederhana dan penuh makna yang tersirat, serta terdapat kandungan cinta dan nilai estetika yang harus menjadi pegangan hidup dalam bermasyarakat.

Hukum Islam banyak mengambil atau memodifikasi hukum-hukum Yahudi. Salah satunya adalah hukum Qishos. Sejarahnya, orang-orang Yahudi kalau dipukul, maka wajib membalas dengan pukulan, dan kemudian pukul-pukulan itu dijadikan hukum.

Sementara Nasrani atau Kristen mempunyai hukum yang berbeda. Mereka kalau dipukul pipi sebelah kiri, akan memberikan pipi sebelah kanan untuk dipukul lagi. Maksudnya bukan untuk menyombongkan diri, tapi adalah sebuah perlawanan nonverbal untuk melawan kejahatan.

Adakah seorang maling yang tetap masuk ke dalam rumah karena dipersilakan oleh tuan rumah untuk mengambil seluruh barang yang ada di dalamnya? Kira-kira seperti itu permisalannya.

Nah, hukum-hukum seperti itu kemudian diserap dan dimodifikasi atau diperbarui oleh Islam. Dalam ayat atau kalimat cinta di atas itu, saya menemukan bahwa betapa beratnya kadar kejahatan yang menghampiri, kita harus bersabar dan menahan diri dari melawan kejahatan serupa (sekalipun memang kejahatan yang serupa adalah balasan kejahatan itu sendiri).

Sebab, memberi perlawanan kejahatan dengan kejahatan serupa merupakan sebuah kejahatan yang hanya berbeda kedudukan, tapi intinya sama, yakni kejahatan.

Maka, berbuat baiklah kepada orang-orang yang sudah melakukan kejahatan, karena itu adalah senjata ampuh untuk melawan kejahatan. Sebagaimana kisah Nabi Muhammad yang sabar menghadapi kejahatan dan beliau balas kejahatan itu dengan senyum, pertolongan, welas asih, dan sekaligus pencerahan.

Saya rasa, kisah Nabi Muhammad yang demikian sudah sangat populer di kalangan anak-anak.

Sudah saatnya kita meneladani dan mengamalkan ajaran moral yang diajarkan oleh Rasulullah dan Al-Quran. Tidak melawan kejahatan atas kejahatan, dan tidak melakukan perbuatan buruk sebagai perlawanan atas keburukan yang datang menghampiri.

Muara agama adalah cinta. Keberagamaan seseorang akan baik di hadapan Allah ketika senantiasa menjajakan kebaikan kepada sesama manusia dan makhluk Allah lainnya. Ibadah ritual di setiap agama, sesungguhnya adalah pemicu untuk sebuah peningkatan nilai moral.

Sangat salah kaprah, ketika ibadah ritual justru mengantarkan kita untuk berbuat kerusakan, baik kerusakan yang sifatnya sistemik maupun tidak. 

Sementara telaah moral inilah yang harus dijadikan bekal kita agar selalu berkeinginan berbuat baik sekalipun kejahatan menimpa. Inilah bekal supaya Ramadhan tidak menjadi sia-sia di 11 bulan setelahnya.

Wallahu A'lam.


*Penulis adalah Pengelola Media NU Kota Bekasi

Tidak ada komentar