Banner

Breaking News

Rekonstruksi Makna Jihad


Sumber gambar: craigconsidinetcd.com

Oleh: Adi Prastyo

Dewasa ini, banyak orang keliru memaknai dan menafsirkan tentang jihad di jalan Allah. Sebagai konsep beragama, jihad memiliki makna yang sangat luas.

Bagi kalangan umat Islam, seruan jihad menjadi bagian yang tidak terpisahkan, bahkan dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah akan memberikan derajat yang tingi kepada orang-orang yang ikhlas berjihad dengan harta dan jiwa mereka. 

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah yang memperoleh kemenangan.” (Qs At-Taubah: 20).

Dalam Al Qur’an, kata jihad diulang sebanyak empat puluh satu kali dalam berbagai bentuk kalimat. Bagi orang-orang yang ikhlas melakukan jihad, Allah menjanjikan surga bagi mereka. 

Hal itulah yang membuat orang-orang ingin melakukan jihad dengan harta dan jiwa mereka dengan ikhlas, agar mendapat derajat yang lebih tinggi dari Allah dan dijanjikan surga.

Ketika itu, di zaman Rasulullah, jihad dilakukan untuk melawan musuh-musuh Islam yang mengganggu atau menyerang umat Islam terlebih dulu.

Maka, Rasulullah terpaksa melakukan jihad dengan cara berperang dalam kondisi umat Islam yang sedang ditekan pada saat itu. Umat Islam di masa awal memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali berperang. 

Namun, berperang untuk membela diri mereka karena sedang dalam kondisi yang tertekan.

Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, jihad juga pernah dilakukan bangsa ini untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Saat itu bangsa Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, tetapi sekutu ingin kembali menjajah bangsa ini. Perlawanan di berbagai daerah meletus terutama di Pulau Jawa.

Kondisi tersebut langsung direspon oleh penduduk se-Jawa dan Madura, terutama di Surabaya yang dipimpin Bung Tomo dengan langsung bertemu dengan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari yang menanyakan tentang hukum membela negara bagi umat Islam. Kemudian KH Hasyim Asy'ari menjawab, “Hukum membela agama adalah fardhu 'ain”.

Maka tercetuslah Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 pada saat itu, yang berisi “Berperang menolak dan melawan penjajah itu Fardu ‘Ain, yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak. Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak 94 km, kewajiban itu jadi Fardhu Khifayah.”

Seruan jihad membuat perang kemerdekaan berdimensi transendental karena dianggap sebagai perang suci di jalan Allah. Dimensi ketuhanan inilah yang turut mengobarkan semangat juang santri dan masyarakat Jawa-Madura untuk maju ke pertempuran.

Ribuan kiai dan santri bergerak ke berbagai wilayah untuk berjuang melawan tentara NICA dan tentara Inggris yang berujung peperangan pada 10 November 1945 di Surabaya.

*****

Pada satu sisi jihad bermakna positif, karena dimaknai sebagai usaha sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu semata-mata untuk memperoleh ridha Allah. Seseorang yang berjihad akan dengan senang hati mengorbankan harta, jiwa dan raga karena jihad merupakan sebuah panggilan Tuhan.

Namun pada sisi lain, fitur linguistik jihad berpotensi disalahgunakan orang atau sekelompok orang untuk menggerakkan umat Islam demi kekuasaannya. 

Pada zaman sekarang ini, menjadi ironis ketika jihad diidentikkan dengan aksi pengeboman yang intinya mengancam kenyamanan orang lain. Anehnya, yang menjadi korban aksi mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah. Jika demikian layakkah aksi itu kita sebut jihad?

Jihad mempunyai tiga tingkatan. Pertama, jihad akbar (paling besar), jihad yang menuntut kita untuk melawan hawa nafsu.

Nabi Muhammad menyambut sahabatnya yang baru saja pulang dari perang. Rasulullah mengucapkan selamat pada mereka karena telah memenangkan peperangan. 

Namun, di sela-sela itu, beliau berkata kepada mereka, “Masih ada jihad yang paling besar yang harus kalian lakukan, yaitu jihad melawan hawa nafsu.” 

Kedua, yaitu jihad asghar, jihad ini berkaitan dengan peperangan yang bersifat defensif. Dengan kata lain, perang perlawanan. Rasulullah dan pasukannya akan berperang ketika mereka mendapat serangan terlebih dulu. Begitupun halnya dengan mengusir penjajah yang mendzolimi bangsa Indonesia pada saat itu.

Ketiga, yaitu jihad kabir (Besar), jihad ini menuntut kita untuk melakukan persaingan dengan orang kafir, dari keilmuan maupun tekhnologi serta kemajuan-kemajuan di bidang lain.

Inilah yang disebut jihad pada masa sekarang ini, bukan lagi jihad dalam berperang atau justru malah mengebom tempat-tempat yang tidak dimiliki oleh umat Islam yang justru melukai umat Islam sendiri yang tidak bersalah.

Begitupun dalam keyakinan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) terdapat jihad al-nafs dan jihad qital. Jihad al-nafs dilakukan dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat, seperti berjuang meningkatkan mutu pendidikan. Dalam kata lain, berjihad melawan kebodohan, mutu dakwah Islam, membantu kesejahteraan masyarakat serta hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan. 

Kemudian jihad qital (berperang), dilakukan dalam kondisi Islam ditindas secara fisik. Jihad ini dilakukan dengan ketentuan bahwa wilayah yang sedang menjadi sasaran peperangan haruslah jelas dan tidak mengorbankan rakyat sipil. 

Semoga kita tidak salah dalam memaknai hal-hal yang berkaitan dengan jihad yang memang menjadi perintah paling mulia di mata Allah.


Wallahul Muwafiq ilaa aqwwmiththoriq

*Penulis adalah Ketua PC IPNU Kota Bekasi

Tidak ada komentar