Banner

Breaking News

Nahdliyin Kota Bekasi Dukung Mustasyar PCNU Jadi Walikota


Foto Pengurus Tanfidziah PCNU Kota Bekasi bersama Mustasyar, H Rahmat Effendi, dan Rois Syuriah, KH Mir'an Syamsuri

Oleh: Redaksi Media NU Kota Bekasi

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 tinggal menghitung hari. Rabu pekan depan, 171 daerah di Indonesia secara bersama-sama melakukan dan merayakan pesta demokrasi lima tahunan. Sebanyak 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten akan berganti kepala daerah.

Tak terkecuali Kota Bekasi. Wilayah yang memiliki julukan Bumi Patriot ini juga akan merasakan dan merayakan hajat besar-besaran setiap lima tahun itu. Akan tetapi, kondusifitas tetap menjadi prioritas bagi Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam perjalanannya, NU memang pernah menjadi partai politik pada 1952. Namun, keputusan itu jelas membuat NU mengalami degradasi nilai, peran, dan perjuangan luhur organisasi. Sebab saat NU menjadi partai politik, secara kelembagaan dan organisasi, NU lebih fokus ke arah politik praktis.

Seiring waktu berjalan, keputusan menjadi partai juga memicu para kiai saling silang pendapat. Sebagian besar kiai mengusulkan agar NU kembali ke khittah sebagai organisasi Islam kemasyarakatan yang titik fokusnya adalah mengurusi persoalan keumatan; mulai dari sektor kebangsaan hingga isu-isu kerakyatan.

Seruan kembali ke khittah 1926 muncul pada 1971. Ketika itu, Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan menilai bahwa langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Namun pernyataan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah.

Kiai Wahab mengatakan bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat juang 1926, saat awal-awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah. 

Seruan kembali ke khittah sempat terhenti. Namun gema itu muncul lagi pada 1979 saat diselenggarakan Muktamar ke-26 di Semarang, Jawa Tengah. Sebagaimana seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jam'iyah diniyyah ijtima'iyyah dalam Muktamar itu juga terhenti.

Lebih-lebih, ketika itu, NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi rezim otoritarian pada masa Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.

Misi kembali ke khittah mulai nyaring lagi saat para ulama berkeliling, melakukan konsolidasi. Bersamaan dengan itu, KH Achmad Shiddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khittah NU 1926.

Tulisan tersebut dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di Jakarta. Naskah yang ditulis itu mendapat sambutan dan penghargaan tinggi karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat Munas NU pada 1983 di Situbondo, Jawa Timur; setahun sebelumnya digelar Muktamar ke-27 di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo.

Tulisan itu kemudian menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan khittah Nahdliyah. KH Achmad Shiddiq menegaskan bahwa khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada, tetapi berdasarkan pengalaman yang telah berjalan di NU selama berpuluh tahun lamanya.

Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi, karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan keindonesiaan.

Tulisan KH Achmad Shiddiq itu kemudian dioperasionalkan dan merumuskan perangkat kelembagaan yang dilakukan para aktivis NU. Diantaranya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Bersama aktivis lain seperti H Mahbub Junaidi dan Fahmi D Saifuddin, Gus Mus dan Gus Dur juga merumuskan hubungan Islam dengan Pancasila pada Munas NU 1983 di Situbondo yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Shiddiq dan kiai sepuh yang lain. 

Menurut kesaksian Gus Mus, gagasan kembali ke khittah 1926 baru bisa diputuskan berkat pikiran-pikiran brilian sekaligus pribadi-pribadi bersih penuh kharisma dari kedua tokoh besar; KH Achmad Shiddiq dan Gus Dur. (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)

Pandangan kebangsaan kedua tokoh itu didukung oleh para kiai lain yang mampu membawa NU ke rel yang sesungguhnya. Bagi NU, yang sudah kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan ini, politik hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara.

Karena itu, politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara.

Terkait Pilkada Serentak di Kota Bekasi yang akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018, NU Kota Bekasi sama sekali tidak punya kepentingan politik apa pun. Akan tetapi tradisi kultur yang telah turun temurun dilakukan NU adalah mendukung orang-orang yang berada di lingkungannya untuk maju menjadi seorang yang besar dan punya pengaruh bagi daerahnya; Kota Bekasi.

Calon Walikota Bekasi nomor urut 1, H Rahmat Effendi, secara struktural di organisasi dia menempati posisi menjadi salah seorang Mustasyar. Yakni penasehat syuriah (syuriah adalah badan musyarawah untuk mengambil keputusan tertinggi di NU). Mustasyar terdiri dari para ulama sepuh NU yang tidak hanya dituakan dalam hal usia, tetapi juga kedalaman ilmu pengetahuan, agama, dan spiritualitas.

Ketua Tanfidziah PCNU Kota Bekasi KH Zamakhsyari Abdul Majid pernah mengatakan bahwa dalam dakwahnya, secara organisasi, NU punya dan membutuhkan payung politik. Sebab apabila tidak punya payung politik, maka NU akan sangat mudah digerus oleh kekuatan politik di luar NU.

"Artinya, kalau ada warga NU yang ingin menjadi pejabat publik, maka kita harus beri apresiasi, tapi dengan catatan harus berpihak kepada NU. Membantu mengembangkan dakwah NU. Kalau misal mengeluarkan undang-undang, harus yang sesuai dengan garis kebutuhan NU," kata Kiai Zamakhsyari Abdul Majid.

Oleh karenanya, NU selalu berpikir bagaimana kemaslahatan umat harus diprioritaskan. Warga NU, terlebih Mustasyar PCNU, yang menjadi pejabat publik, itu menjadi washilah NU untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat dan keadilan yang seadil-adilnya kepada masyarakat. Khidmat NU kepada masyarakat, jelas tak bisa diragukan lagi.

Jadi, sangat bagus sekali apabila ada warga NU yang menjadi anggota DPR, menjadi pemimpin daerah, gubernur, walikota, bahkan presiden harus didukung oleh warga NU yang lainnya. Karena berarti, kekuasaan politik itu nantinya bisa digunakan untuk kemaslahatan dalam menunjang kiprah NU untuk menciptakan suasana kondusif di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

NU Kota Bekasi melalui H Rahmat Effendi akan terus mengabdi kepada umat. Menjadikan Kota Bekasi sebagai kota yang benar-benar Ihsan. Yakni perbuatan yang senantiasa menghadirkan Allah, sehingga memiliki rasa takut dan enggan untuk berbuat kerusakan di muka bumi.

Karena itulah, PCNU Kota Bekasi mengarahkan Warga NU di Kota Bekasi untuk memilih H Rahmat Effendi dalam kontestasi Pilkada Serentak 2018, beberapa hari lagi.

Selasa (26/6) malam nanti, di NU Center El-Sa'id Rawalumbu, bersama H Rahmat Effendi, PCNU Kota Bekasi akan mengadakan Istighotsah Kubro dalam rangka meminta pertolongan kepada Allah agar NU senantiasa dimudahkan segala urusan dan kepentingannya yang tentu sejalan dengan garis perjuangan kepada umat dan rakyat.


Wallahu A'lam...

Tidak ada komentar