Simbol Bukan Penentu Kualitas Beragama
Keberagamaan umat Islam di Indonesia
dari tahun ke tahun mengalami signifikansi yang cukup tinggi. Tahun 1990-an ke
bawah, tidak banyak masyarakat muslimah Indonesia yang mengenakan jilbab dan
hijab. Apalagi cadar. Tapi, saat ini muslimah Indonesia yang berjilbab, berhijab,
dan bahkan bercadar semakin marak.
Selain itu, istilah syar’i dan hijrah
juga semakin mengemuka ke tengah-tengah masyarakat belakangan ini, terutama di
kalangan artis dan publik figur. Contoh kecil, kerudung dianggap syar’i
manakala memiliki ukuran yang lebar hingga menutupi seluruh badannya.
Sedangkan, kerudung kecil dianggapnya kurang, bahkan tidak syar’i. Itu baru
segi pakaian. Masih ada hal-hal lainnya yang dilabeli dengan istilah syar’i.
Begitupun dengan hijrah. Terma ini
semakin ngehits dalam beberapa tahun
terakhir ini. Bahkan para publik figur yang berkecimpung di dunia pertelevisian
pun cukup vokal dalam mengkampanyekan istilah hijrah. Diantara indikator yang
disematkan untuk hijrah adalah, misalnya, berkerudung syar’i atau bercadar,
berjenggot lebat, bercelana ngatung, dan berjidat hitam.
Lalu, Bagaimana pola keberagamaan umat
Islam saat ini? Apakah hijrah berarti sebagaimana yang digambarkan di atas?
Bagaimana melihat fenomena syar’i yang berkembang seperti sekarang ini? Bahkan
ada beberapa institusi perguruan tinggi yang dilaporkan melarang dosen atau pun
mahasiswanya untuk mengenakan cadar atau niqab. Bagaimana melihat fenomena
seperti itu.
Berikut wawancara dengan Direktur
Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Umam, terkait dengan hal-hal tersebut
di atas. Ia juga diamanati untuk menjadi Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI
PBNU). Berikut wawancaranya:
Keberagamaan umat Islam di Indonesia
saat ini seperti apa, Pak Umam?
Secara umum ada perubahan pola
keberagamaan masyarakat Indonesia. Perubahan itu belum tentu substantif, tetapi
perubahan itu kelihatan dari sisi luarnya dan kemasannya. Sekarang,
simbol-simbol Islam itu semakin jelas. Simbol-simbol tersebut belum tentu
mencerminkan kualitas kesalehan masyarakatnya. Dulu jilbab jarang dipakai
orang, tetapi sekarang banyak sekali yang memakai jilbab.
Apa yang menyebabkan seperti itu?
Maksudnya maraknya simbol-simbol keislaman tersebut?
Televisi, media cetak, dan maraknya
media-media sosial telah membantu untuk memperlihatkan perubahan-perubahan
tersebut. Dan itu mau tidak mau juga ikut mempengaruhi perilaku umat Islam
Indonesia. Ada yang sekedar ikut tren karena jilbab menjadi tren. Meskipun ada
seseorang yang berubah karena kesadaran dan keyakinan bahwa itu adalah bagian
dari ajaran Islam.
Jadi, grafik keberagamaan kita semakin
naik?
Kita belum memiliki data yang valid
untuk menggambarkan sebarapa jauh dan meningkatnya perubahan itu. Tetapi secara
umum kita bisa melihat dari jumlah pengajian, masjid dan mushola yang terus
bertambah, semakin maraknya lembaga-lembaga amil zakat karena dipicu oleh
kesadaran berzakat yang semakin meningkat. Itu menunjukkan ada tren
keberagamaan itu meningkat lebih baik.
Tapi di sisi lain, ada tren-tren baru
perlu mendapatkan perhatian. Ada orang yang hanya berhenti kepada simbol-simbol
agama semata. Misalnya kalau mau dianggap islami maka kenakanlah jilbab model
ini atau berpakaian tertentu. Padahal, agama tidak hanya itu. Yang lebih
substantif adalah dari segi isi keberagamaan itu. Simbol itu penting juga,
tetapi jangan berhenti pada simbol karena simbol itu mudah dihilangkan dan
dilepaskan.
Memang ada perubahan dalam keberagamaan
ini, tetapi masih belum terlalu yakin bahwa perubahan itu sudah mengubah juga
substansi para pemeluknya. Yang saya lihat masih sebatas pada simbol luarnya.
Kita lihat kejadian-kejadian sosial yang tidak sesuai dengan ajaran agama
seperti korupsi. Di satu sisi, itu menerangkan bahwa tampilannya sudah
menunjukkan seolah-olah dia pengamal agama yang baik, tetapi di sisi lain
ternyata tidak demikian.
Belakangan ini, marak istilah syar’i di
kalangan umat Islam misalnya ada istilah hijab syar’i. Bagaimana Anda melihat
itu?
Kalau niatnya baik itu patut diapresiasi,
tetapi saya khawatir ini hanya tren sesaat. Jangan lupa bahwa di balik tren
syar’i itu juga ada kepentingan ekonomi yang besar. Misalnya industri garmen
semakin menguat dengan adanya tren syar’i ini.
Kalau niatnya adalah supaya orang sadar
akan ajaran agama, saya kira itu bagus. Tetapi jangan sampai berhenti di situ
dan jangan terjebak kepada jargon-jargon sesaat. Yang tidak kalah pentingnya
adalah menata perilaku sehingga sesuai dengan ajaran syariat Islam. Tidak berhenti
di pakaian saja.
Ada yang ‘memanfaatkan’ tren syar’i ini
secara ekonomi?
Kritikan saya seperti ini, di balik
jargon syar’i itu jelas ada kepentingan ekonomi. Apapun yang terkait dengan
syar’i itu dikampanyekan dengan market. Di bisnis garmen, makanan, penerbangan
itu kan ada pemain-pemain lama. Kemudian ada pemain baru yang ingin mendapatkan
‘kue’ ekonomi itu. Sehingga kalau misalnya mereka bersaing di sektor lama
mereka tidak akan berhasil. Sehingga hal-hal yang sifatnya syar’i ini menjadi
jargon marketing yang luar biasa.
Orang terdorong untuk melakukan sesuatu
karena itu adalah bagian dari implementasi agama. Pada tataran pelakunya
mungkin mereka sadar ingin berubah. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah
orang-orang yang memanfaatkan itu tadi.
Bukankah itu bagus untuk mendorong
ekonomi baru?
Sebetulnya ini positif untuk
mengembangkan ekonomi. Salah satu yang mendorong ekonomi adalah bagaimana orang
membelanjakan uangnya itu. Di satu sisi seperti itu. Tetapi jangan kemudian
menganggap bahwa Indonesia lebih islami dengan adanya tren seperti itu. Karena
indikator yang lain di luar tampilan fisik itu belum terpenuhi.
Lalu, apa saja indikator yang
menunjukkan bahwa itu islami?
Misalnya kejujuran, tidak korupsi, adil
terhadap semua orang, dan lainnya. Sampai saat ini, saya masih belum sepenuhnya
yakin bahwa jargon syar’i itu adalah indikasi masyarakat Indonesia secara umum
itu menjadi lebih islami.
Selain Syar’i, istilah hijrah juga ngehits saat ini. Hijrah diidentikkan
misalnya dengan bercadar, bercelana cingkrang, berkening hitam, dan berjenggot
lebat. Apakah hijrah memang seperti itu?
Hijrah tidak hanya sekedar itu. Itu
hanya bagian luar dan tidak substantif. Kalau mau hijrah ya harus total. Tidak
hanya tampilan luarnya saja, tetapi juga harus disertai dengan perubahan
perilaku, sikap, dan cara berpikir ke arah yang lebih baik.
Ini kan korban dari kampanye dari
televisi dan media sosial. Jangan menyimplifikasi agama misalnya kalau sudah
mengubah cara berpakaian maka kemudian menjadi lebih islami.
Mungkin betul bahwa ada hadis yang
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad melarang seseorang yang berpakaian terlalu
panjang dan melebihi mata kaki. Tetapi konteksnya kan berbeda. Saat itu, orang
yang mengenakan pakaian panjang melebihi mata kaki itu ada kesombongan maka
kemudian Nabi melarang itu.
Sekarang di balik, orang yang mengenakan
pakaian panjang melebihi mata kaki itu apakah mereka ada kesombongan?
Jangan-jangan yang terjadi adalah sebaliknya; orang yang berpakaian cingkrang
itu ada dirinya merasa lebih baik dari pada orang lain. Kalau begitu, berarti
dia yang sombong. Karena mereka merasa lebih islami, mengikuti hadis Nabi, dan
merasa lebih dekat dengat Tuhan. Berarti kan ada kesombongan itu.
Begitupun yang berkening hitam. Jangan
sampai mereka yang berjidat hitam merasa lebih lama sujudnya dari orang
lainnya. Menghitamkan kening itu mudah. Saya memiliki banyak kiai yang ahli
sujud, tetapi keningnya tidak hitam. Justru wajahnya bersih-bersih.
Berarti titik tekan dari hadis Nabi
Muhammad tersebut pada ada tidaknya kesombongan dalam berpakaian?
Konteks larangan hadis tersebut adalah
agar orang tidak sombong. Sekarang itu harus dikaji lagi. Saat ini yang sombong
siapa? apakah orang yang bercelana melebihi mata kaki itu? Ataukah orang yang
bercelana cingkrang?
Kalau kebiasaan atau ‘urf itu
menunjukkan bahwa berpakaian melebihi mata kaki itu baik dan tidak ada
kesombongan sama sekali, lalu kenapa harus dirubah dan dikampanyekan untuk
bercelana cingkrang.
Makanya, agama itu jangan
disimplifikasikan dengan penampakan pakaian saja. Mari kita ukur; apakah mereka
berbuat baik dengan tetangga, apakah mereka peduli dengan orang miskin?
Ada institusi pendidikan yang melarang
mahasiswinya memakai cadar. Bagaimana itu?
Ajaran agama itu muncul berdasarkan
tantangan lokasi dan waktu tertentu. Cadar itu muncul di negara padang pasir
untuk melindungi dari pasir. Cadar itu kan bukan pakaian islami yang absolut.
Pakaiaan itu adalah budaya. Yang menjadi kewajiban bagi muslim dan muslimah
adalah menutup aurat. Dan batasan-batasan aurat sendiri itu kan juga menjadi
perdebatan ulama hingga melahirkan pendapat yang berbeda.
Kalau kita merujuk pendapat yang
menyatakan bahwa aurat yang harus ditutupi adalah seluruh anggota badan kecuali
muka dan telapak tangan, maka tidak ada keharusan untuk mengenakan cadar.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
kita menyesuaikan pakaian dengan budaya setempat. Bukankah ada kaidah fikih
yang menyebutkan bahwa al-‘adah
muhakkamah (adat itu bisa dijadikan hukum). Selagi kebiasaan sebuah
masyarakat tidak bertentangan dengan agama dan agama tidak mengatur, maka itu
tidak ada masalah.
Terkait dengan larangan bercadar di
kampus, pak?
Ketika institusi negara melarang orang
bercadar itu mungkin ada alasan untuk mengenali dan mengetahui seseorang itu.
Karena orang tidak bisa mengenali orang yang bercadar dengan pasti. Sementara
di sebuah institusi itu perlu kepastian bahwa seseorang yang dimaksudkan adalah
benar-benar si A dengan identitas yang disebutkan itu.
Bagaimana menguji seseorang kalau hanya
lewat cadar. Kalau semuanya tertutup, tidak ada alat untuk memastikan bahwa dia
memang nama yang tertulis itu.
Dalam konteks ini, wajar kalau sebuah
institusi meminta kepada mereka yang bercadar itu untuk melepasnya. At least, dalam waktu-waktu yang
dibutuhkan untuk mengkorfirmasi identitas seseorang tadi. Hal itu berbeda kalau
mereka di luar institusi, silahkan saja mereka mengenakan cadar.
Sebuah pernyataan dari Prof Azyumardy
Azra bahwa Islam Indonesia yang dikenal ramah, moderat, adaptif terhadap budaya
setempat itu is too big to fail.
Apakah sepakat dengan statement itu atau bagaimana?
Saat ini, Islam Nusantara is too
big to fail, iya benar. Karena mayoritas masyarakat muslim Indonesia
masih mengamalkan Islam yang ramah, moderat, dan adaptif terhadap tradisi
setempat.
Tetapi kalau tren konservativisme Islam
tidak diantisipasi oleh semua pihak dan dibiarkan menguat -misalnya pola
keberagamaan ala Saudi dibiarkan bebas, dikampanyekan, diajarkan sehingga
membid’ah-bid’ahkan yang lainnya- maka model Islam Indonesia seperti saat ini
akan berubah lima puluh seratus tahun ke depan.
Maka saya, baik secara pribadi maupun secara institusi, merasa perlu untuk mengingatkan masyarakat Indonesia secara
umum, NU, Muhammadiyah, untuk bekerjasama dan melakukan upaya-upaya yang lebih
konstruktif dalam mengimbangi dakwah Islam model kaku seperti itu. Model yang
mungkin cocok di Arab, tetapi menurut saya itu tidak pas diterapkan di
Indonesia.
Kalau dakwah-dakwah model salafi wahabi
itu dibiarkan, maka dalam jangka panjang itu akan mengubah keberagamaan
Indonesia. Sekarang kan sudah kita temukan fakta-fakta di lapangan bahwa orang
seperti ini semakin banyak.
Sumber: NU Online
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar