Banner

Breaking News

Nusantara adalah Buku yang Nyata


Penulis saat di Puncak Gunung Cikuray


Oleh: Hermawan Al-Ikhwan

Tak akan ada yang tahu arti sebuah peradaban, jika tidak dituliskan dan diceritakan. Hidup di era modern hanyalah saksi atas titipan peradaban ratusan abad yang lalu. Kita percaya atas sejarah dan kehebatannya, karena diceritakan dan dibacakan.

Napak tilas dan jejaknya dipercayai sebagai peradaban besar manusia yang berhasil dibangun. Kita percaya dan meneladaninya, padahal sama sekali tak bertemu. Kenapa? Berawal dari cerita dan catatan sejarah. Ya, itulah Nabi Muhammad SAW. 

Masih segar dalam ingatan bahwa wahyu pertama adalah perintah membaca (Iqra). Artinya, masa awal kenabiannya (Muhammad) adalah untuk membangun peradaban dengan membaca. Tentu membaca bukan sekadar membuka lembaran dan halaman. Melainkan membaca yang memunculkan kearifan dan kebijaksanaan.

Maka, itulah Iqra Bismirabbik (membaca dengan menyebut nama Tuhanmu). Memperoleh kearifan bukanlah cuma kegiatan teoritis. Tidak akan menjadi bijaksana, bersih hati, dan bahagia karena membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan "How to...".

Namun, kita harus terjun. Hanyut atau berenang dalam pengalaman. Kita harus berada dalam laku dan perbuatan; dalam merenung dan merasakan. Seperti itu menurut Goenawan Mohamad.

Tidak sedikit orang yang membaca, tapi tak melahirkan sikap arif dan bijak. Tak menyadari bahwa membaca itu harus bismirabbik (esensinya nilai-nilai ketuhanan). Mari, kita lihat orang-orang di negeri ini, yang keluar masuk KPK dan pengadilan karena korupsi lalu tersenyum seolah tak punya dosa. Bahkan, melambaikan tangan.

Bukankah mereka adalah orang yang membaca dan berpendidikan? Mereka itulah yang membaca untuk mengalahkan dan membodohi orang lain, bukan menjadikan dirinya arif dan bijak. Sejatinya, orang arif adalah mereka yang mampu mengalahkan dirinya sendiri, bukan orang lain. Sebab menurut seorang filsuf kenamaan dari Tiongkok, Konfusius, hanya orang bodoh yang berusaha mengalahkan orang lain.

Untuk itu, membaca akan melahirkan peradaban, jika kata arif dan bijaksana itu melekat. Sayangnya, bangsa ini akan semakin jauh dari peradaban, karena manusia yang kian tak sadar pada peradabannya. Nusantara dengan keindahan alam, keunikan budaya, keragaman suku, dan agamanya adalah "buku" yang nyata.

Sayang, ia hanya menjadi pencundang bagi bangsanya. Ia dibakar dengan keserakahan dan keangkuhan. Banyak yang tak sadar bahwa "buku" itu harus dijaga dan dirawat. Sebagaimana seorang Bijak Bestari berungkap, "Kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku adalah dengan tidak membacanya".


Selamat Hari Buku!





*Penulis adalah warga NU dan Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam "45" Bekasi
*Tulisan ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Buku Dunia 23 April 2018

Tidak ada komentar