Adakah Sistem Islami?
Dalam
Kitab Suci Al-Qur’an disebutkan, “masuklah kalian ke dalam Islam secara penuh (udkhulu fi al-silmi kaffah)”. Di sinilah
terletak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau
kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi
kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan
keharusan menciptakan sistem yang Islami.
Sedangkan
mereka yang menerjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk
pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem
tertentu, termasuk sistem Islami.
Bagi
mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penerjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami. Maka,
dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili
keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa
dan lumrah.
Hal
ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat
mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti
mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai politik Islam” dalam
kehidupan berpolitik.
Tentu
saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol
Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka. Di lain
pihak, kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan
kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang
tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin.
Hal
tersebut juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah
sistem Islami otomatis membuat warga negara non-musli berada di bawah kedudukan
warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut
dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak
menjalankan ajaran Islam secara penuh.
Apabila
terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada
ketentuan-ketentuan non-organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum
muslimin oleh kitab suci Al-Quran?
Sebuah
ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik”,
sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat Al-Quran, yaitu menerima prinsip-prinsip
keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan
pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin, dan sebagainya) menegakkan
profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.
Kesetiaan
kepada profesi itu, digambarkan oleh Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dengan
istilah, “mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-muufuuna bi ‘ahdihim idzaa ‘aahaduu).
Adakah
janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi masing-masing yang
disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah
jabatan? Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan seorang muslim, tanpa
menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi
sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam.
Dengan
demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang
untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat
penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan
arti sistem.
Maka
ketika Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan deklarasi berdirinya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), tanpa menyebutkan bahwa tersebut adalah partai Islam, Gus Dur
dihujani kritik tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan PKB
dinyatakan sebagai partai Islam.
Hal
itu dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari bahwa NU sejak awal telah
menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah
bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis
an-nushus al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).
Dalam
Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah
pertanyaan: “wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu
bernama Hindia Belanda (kini, Indonesia) yang diperintah oleh orang-orang
nonmuslim (para kolonialis Belanda)?
Jawab
muktamar saat itu: wajib. Karena di kawasan tersebut, ajaran Islam dapat
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan
dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus
dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum
muslimin di kawasan tersebut.
Diktum
muktamar NU di Banjarmasin ketika itu, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada
Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula,
pembentukan badan-badan formal Islam bukanlah satu-satunya medium bagi
perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di Bumi Nusantara.
Lalu,
bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada
kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama illa bi Jama’ah wa la jama’ata
illa bi imarah wa la imarata illa bi tha’ah).
Bukankah
ungkapan tersebut sudah menunjukkan adanya sebuah sistem? Maka, jawabannya
bahwa tidak ada sesuatu yang menunjukkan secara spesifik adanya sebuah sistem
Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan itu,
asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah
bangsa/negara.
Karena
itu, Gus Dur berpendapat bahwa dalam pandangan Islam tidak mewajibkan sebuah
sistem (formal) Islam. Ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah
negara Islam. Hal ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih
ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam Undang-Undang
Dasar (UUD).
Dengan
klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam, jelas bertentangan dengan
demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan
perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak
lain.
*Tulisan ini disarikan dari buku Islamku Islam Anda Islam Kita karya KH Abdurrahman Wahid
Tidak ada komentar