Banner

Breaking News

Orang Beriman Tidak Mungkin Sebar Hoaks


KH Pauzan Haryono saat sedang mengajar Pendidikan Pancasila di Unisma Bekasi


Media sosial kini berubah menjadi media asosial. Di sana bercampur aduk segala hal. Mulai dari perilaku ghibah, fitnah, hingga mencela dan mencaci-maki. Parahnya, hal itu dilakukan atau ditujukan kepada sesama saudara muslim.

Demikian disampaikan oleh salah seorang dosen Pendidikan Pancasila di Universitas Islam "45" (Unisma) Bekasi KH Pauzan Haryono dalam khutbah Jum'at di Masjid Al-Fatah, Unisma Bekasi, Jum'at (9/3).

"Sesama saudara muslim itu ibarat tubuh. Kalau ada salah satu bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh yang lain akan merasakan sakit. Maka, sungguh disayangkan saat media sosial menjadi wadah untuk saling memfitnah," ungkapnya.

Alumni Universitas Ibnu Khaldun Bogor itu mengungkapkan bahwa tebaran kebencian kepada sesama muslim ibarat memakan bangkai saudara sendiri. Tentu, merasa jijik. Perumpamaan itu dibuat Allah untuk menyindir manusia yang abai terhadap nilai persaudaraan.

"Dalam surat Al-Hujurat ayat 12, Allah memberi isyarat agar kita tidak berprasangka terhadap orang lain. Karena, sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Sama dengan memakan bangkai saudara sendiri yang telah mati," katanya.

Kemudian, ia menegaskan agar umat Islam harus bersatu. Tidak berpecah-belah. Karena mencari-cari keburukan dan kesalahan orang lain merupakan perbuatan yang tercela. Ukhuwah (persaudaraan) itu wajib diperjuangkan dan permusuhan haram hukumnya. 

"Seorang pakar menyebut bahwa alasan terjadinya saling cibir dan menebar kebencian, termasuk fitnah, adalah bagian dari rasa takut kalah. Perilaku itu dilakukan oleh orang-orang pecundang yang takut kalah, baik secara politik maupun kontestasi lainnya," ungkapnya.

Kiai Pauzan mengungkapkan agar umat Islam bersikap kompetitif secara positif. Artinya, rasa takut kalah itu baiknya dibarengi dengan meningkatkan kadar kompetensi, kapabilitas, dan kualitas.

"Dengan melakukan peningkatan itu, maka takkan ada lagi perseteruan yang sengit. Sebab, perbedaan itu adalah keniscayaan. Kadar keimanan seseorang tidak bisa diukur dari pilihan politik atau organisasi," katanya. 

Di akhir khutbahnya, ia mengatakan bahwa keimanan seseorang hanya dapat diukur dari kedekatannya dengan Allah. Namun, itu pun bentuknya abstrak. 

Nabi Muhammad pernah ditanya seorang sahabat mengenai, mungkinkah orang beriman itu berdusta atau menyampaikan berita bohong? Kemudian, Rasulullah langsung beranjak dari duduknya dengan segera, dan mengatakan 'tidak'. Orang beriman tidak akan melakukan itu.

"Siapa pun orangnya yang gemar melakukan penyebaran berita bohong, maka keimanannya patut diragukan," pungkas dosen yang sering mengajarkan nilai-nilai Al-Quran yang sesuai dengan Pancasila itu. (Aru Elgete)

Tidak ada komentar