Banner

Breaking News

Jadilah Muslim yang Indah, Tidak Kagetan dan Mendadak Bid'ah




Penulis (kanan) bersama istri


Oleh : Bahrudin Achmad

Dulu, saat zaman pra-Islam atau sering kita sebut masa Jahiliyyah, alat musik rebana (terbangan, hadrah, bedug atau sejenisnya yang terbuat dari kulit kambing, domba atau unta) digunakan untuk melakukan upacara keagamaan, mengiringi pentas kesenian para penyair, atau tarian-tarian telanjang (erotis) Jahiliyyah pada waktu itu.

Kemudian, ketika Islam yang dibawa oleh Baginda Nabi Muhammad SAW itu datang, tidak serta-merta melarang alat kesenian tersebut. Beliau tetap membolehkannya dengan memasukkan unsur-unsur positif (seni Islam).

Puisi Jahiliyyah yang dulu masyhur berisi celaan, erotis, kesombongan, membanggakan diri atau suku, tidak serta merta dilarang atau diharamkan. Namun, diarahkan temanya kepada hal positif seperti pujian kepada Sang Khalik, keimanan, dan akhlak. 

Sudah menjadi cerita umum, dalam kajian kesusastraan Arab klasik (pra-Islam) bahwa masyarakat Arab pada waktu itu sangat menyenangi tarian-tarian erotis yang ditampilkan oleh sinden-sinden cantik jahiliyyah.

Ketika Islam datang, Nabi tidak mengharamkan. Akan tetapi diubah caranya dengan digantikan oleh penari pria dengan irama gerak yang sopan dan beradab. Hingga kini, kita masih bisa memainkan dan merasakan indahnya tarian yang diiringi alat musik, yang kita kenal dengan tari zapin.

Demikian cara Nabi SAW membawa Islam ke dalam sebuah masyarakat yang keras dan bahkan bejad. Sehingga mudah diterima oleh masyarakat Jahiliyyah waktu itu. Yang tentunya selain faktor akhlak beliau yang luhur dan dapat dipercaya (Al-Amin).

Kemuliaan cara-cara santun dalam berdakwah itulah yang dicontoh Walisongo ketika menyebarkan Islam di bumi Nusantara ini. Waktu itu, Hindu dan Budha telah menjadi agama besar yang dianut oleh seluruh masyarakat.

Kemudian Islam datang dengan cara yang indah dan santun dan tidak serta-merta menganggap sesat terhadap ritual atau adat istiadat masyarakat waktu itu. Para Walisongo berusaha membumikan ajaran Islam. Menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran dalam bentuk yang indah dan menyentuh hati masyarakat.

Budaya masyarakat waktu itu, seperti tarian, musik dan ritual adat yang ada dijadikan sarana oleh Walisongo untuk memasukan inti ajaran Islam. Pesan-pesan Al-Quran yang diajarkan oleh Walisongo bukan lagi pada tataran huruf dan arti, tapi tataran hakikat.

Pujian-pujian, istilah sembahyang, gong, wayang, serat, mantra, dan masih banyak lagi khazanah budaya waktu itu, oleh Walisongo dimasukan nilai-nilai Islam. Walhasil, masyarakat waktu itu mampu menerima Islam sebagai ajaran yang indah, penuh kasih, dan rahmat bagi seluruh alam.

Seandainya, para ulama dan Walisongo waktu itu, ketika berdakwah dengan cara-cara yang selalu mengharamkan, membid'ahkan, bahkan memusyrikkan adat istiadat, tentu Islam tidak akan menjadi mayoritas dan membumi seperti sekarang ini.

Percayalah, para Walisongo dan ulama-ulama terdahulu yang telah berjasa menyebarkan Islam di bumi Nusantara ini adalah manusia-manusia pilihan. Keilmuan mereka jauh melebihi kita yang terkadang masih belajar dari syekh google.

Al-Quran, hadits, dan berbagai bidang ilmu agama Islam, bukan saja mereka hapal, namun sudah mereka kemas dengan cara yg indah, menyentuh, dan membumi di hati masyarakat. Sehingga, sampai detik ini kita bisa merasakan manisnya Islam.

So, mari menjadi muslim yang indah, tidak kagetan, dan mendadak bid'ah. Wallahu a'lam bishowab.


Penulis hanya seorang warga NU kultural

Tidak ada komentar